Merdekaku, Merdekamu
Riwu GA sangat dekat dengan Bung Karno karena dialah satu satunya yang berada di samping Bung Karno pada saat paling berat dalam perjuangan ini. Riwu GA adalah sekrup kecil yang sangat menentukan ketika sejarah menemukan jalannya. Andaikata dia tidak ada, andaikan dia tak dekat Bung Karno, andaikan bisa berbelok sejarah negeri ini (Megawati, 2004)
HARI itu di tahun 1942 saat Jepang menjejakkan kaki di bumi Nusantara, nun jauh di sana, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), pesawat Belanda telah bersiap-siap mengangkut Bung Karno untuk diterbangkan ke Australia dengan alasan demi keselamatan Sang Proklamator.
Namun rencana Belanda akhirnya batal hanya karena seorang pemuda asal Sabu, NTT bersikeras untuk ikut bersama Bung Karno dan Belanda menolaknya .
Seandainya sang pemuda tidak bersikeras ikut dan Bung Karno berhasil dibawa ke Australia, maka sejarah bangsa ini pastilah berbeda dari kenyataan sekarang.
Akhirnya Bung Karno diasingkan ke Bengkulu dan sang pemuda itu dibolehkan ikut untuk selanjutnya menjadi abdi setia Bung Karno yang membantu menyiapkan semua keperluan sang Proklamator kala itu.
Tidak seorangpun yang peduli, bahkan sejarah pun turut melupakan si anak muda, padahal dialah ’terompet’ kemerdekaan pertama yang berteriak sepanjang sudut kota Jakarta dari atas sebuah jeep yang dikemudikan Purwoko.
Pekikan merdeka sepanjang jalan kota Jakarta seakan menjadi kekuatan warga Jakarta yang tadinya ragu-ragu terhadap berita proklamasi kemerdekaan.
Dengan satu keyakinan teguh dari ucapan sang majikan kako lami angalai ( sekarang giliranmu sahabat-bahasa Flores), Riwu Ga dengan gagah berani dan lantang meneriakkan pekik merdeka di tengah keberadaan tentara Jepang yang masih berada di Jakarta kala itu, tanpa kuatir kalau itu bisa membahayakan jiwanya.
Akan tetapi sehari sesudah proklamasi, sang pemuda desa, pemegang kunci gerbang kemerdekaan itu lantas berpamit pulang ke desanya setelah 12 tahun mendampingi sang proklamator dalam pembuangannya.
Walau dicegah, bahkan sempat diperebutkan oleh Bung Karno dan ibu Inggit saat itu, namun karena tekadnya sudah bulat, kembalilah Riwu GA ke desa Sabu, Ende, Flores, NTT untuk bertani.
Sejarah berlalu dan terlupakannyalah sang terompet pertama kemerdekaan, bahkan dia hanya menjadi seorang penjaga kantor dinas pekerjaan umum sampai pensiun pada tahun 1974 dan terlupakan sampai akhir hayatnya pada tahun 1996.
Pada Senin, 17 Agustus 2015 lalu, diperingatinya proklamasi kemerdekaan, setiap sudut sudut kota di negeri ini berubah warna. Tempat-tempat yang tadinya kumuh dibersihkan dan dicat kembali agar terlihat rapi.
Menjelang perinatan proklamasi, di sepanjang jalan sejumlah kota di negeri ini bahkan jadi macet karena keramaian oleh rombongan gerak jalan dan pawai untuk memperingati hari kemerdekaan. Dan semua orang seakan terhipnotis oleh nuansa Mahardhika itu, walau hanya sesaat untuk selanjutnya roda pemerintahan kembali berlanjut dalam rutinitas otonomi daerah yang riuh dalam proses pembangunan infrastruktur.
***
Memperingati hari kemerdekaan sangatlah berguna manakala momentum untuk meningkatkan semangat nasionalisme bagi generasi penerus bangsa tentang makna perjuangan.
Tapi merdeka itu sudahkah menjadi milik setiap orang yang berdiam di bumi pertiwi ini? Samakah senyuman setiap orang yang kita jumpai saat peringatan proklamasi berlangsung dan masih adakah orang seperti Riwu GA yang tidak pernah berpikir untuk mendapatkan pujian, pamrih terhadap jabatan dan kedudukan, bahkan disadarinya bahwa untuk mengisi kemerdekaan maka keberadaannya sebagai seorang anak desa yang tidak mengenyam pendidikan itu bukan figur tepat yang dapat membantu Bung Karno, karena itu demi menjaga agar sang proklamator tidak terbeban dengan keberadaannya, pulanglah dia ke kampung halamannya tepat sehari sesudah proklamasi dikumandangkan oleh Bung Karno, dan riuh pekik merdeka diteriakkannya sepanjang kota Jakarta dengan penuh kebanggaan tanpa imbalan jasa sedikitpun.
Riwu Ga tidak menunggu sambil berharap karena kedekatannya, dia bisa diangkat menjadi kepala rumah tangga istana atau kepala pelayan istana karena dia selama perjuangan sudah mendampingi Bung Karno dan tahu persis kebiasaan Presiden pertama RI itu, karena bagi dia kemerdekaan itu merupakan rahmat Allah yang luar biasa dan dirinya menjadi bagian penting di sana sekalipun terlupakan nanti dalam catatan sejarah .
***
70 tahun bukan usia muda lagi dalam perjuangan mengisi kemerdekaan. Selama kurun waktu yang cukup lama ini, sudah seberapa dekatkah bangsa ini mencapai tujuan menuju masyarakat adil dan makmur dan sampai kapan itu semua terwujudkan?
Otonomi daerah sebagai bagian dari upaya percepatan pembangunan yang seolah-olah memberi angin segar dalam mewujudkan cita cita luhur bangsa karena dianggap solusi tepat bagi pemerataan pembangunan, justru masih berkutat dan jalan ditempat dan hanya menjadi ajang perdebatan antara pusat dengan daerah.
Di satu sisi daerah menganggap pemerintah pusat tidak ikhlas menjalankan otonomi daerah, ibarat lepas kepala pegang ekor, dengan begitu banyaknya kewenangan yang masih diatur oleh pemerintah pusat demi mematuhi makna negara kesatuan Republik Indonesia.
Sementara di sisi lain pemerintah pusat menganggap daerah tidak bisa diberikan kewenangan leluasa dalam hal pembangunan dan dalam hal mendapatkan hak-hak yang bersumber dari potensi daerah itu sendiri karena kewajiban menjalankan keadilan yang adil, merata dalam langgam proporsional .
Ternyata, nun jauh di sana masih ada desa yang belum terjangkau listrik untuk penerangan. Di sudut sebuah negeri, masih ada anak bangsa yang seharusnya duduk dengan ceria mendengarkan kisah heroik perjuangan oleh sang guru yang harus berpindah pindah kelas mengajar karena dia hanya berdua saja dengan seorang pemuda desa itu yang membantunya mengajarkan baca tulis bagi anak anak desa yang berjumlah belasan orang saja setiap kelas, namun ternyata hanya bisa berdiri karena jatah bangku yang dimiliki tidak sebanding dengan jumlah mereka dalam kelas.
Nun jauh di sana, masih ada sekolah yang beratapkan langit karena atapnya sudah hancur dimakan usia dan dindingnya terlihat artistik oleh kombinasi bambu, triplek diselingi baliho caleg tertentu untuk menutupi lubang lubang yang menganga bagaikan mengejek.
Kala pagi menjelang, berlarianlah anak anak kecil yang penuh semangat untuk belajar walau tanpa alas kaki berkejaran dengan bunyi bel sekolah yang masih seperti dulu saat kami remaja, berbaris rapi dalam satu komando mengikuti upacara bendera Senin pagi, suatu pagi yang luar biasa karena hari itu mereka juga melaksanakan peringatan hari kemerdekaan.
Dan di tengah kesederhanaan dan kepolosan anak anak desa itu, Sukma ini melayang seakan terhipnotis untuk memekikkan kata merdeka manakala si pemuda desa yang menjadi guru bantu itu membacakan teks proklamasi.
Lantang dan tegas suaranya bagaikan suara sang proklamator itu sendiri, sementara nun jauh di sana di tengah hiruk pikuk perkotaan, maklumat proklamasi itu terdengar lesu walau lewat pengeras suara, datar tanpa makna dan berakhir tanpa kita merasakan bahwa semangat perjuangan itu memang ada.
Air mataku tak terasa menetes membasahi pipi keriput ini manakala dengan sikap sempurna, tiga puluhan anak sekolah itu ditambah 12 pemuda desa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Terdengar begitu harmonis, lantang dan seirama, penuh syahdu laksana irama musik klasik Beethoven. Setiap syair lagu terasa Mendayu dayu membetot sukma ke masa silam, mengenang kisah heroik para pejuang bangsa itu.
Dan terbersitlah kenangan setahun yang lalu, ketika berdiri di tengah lapangan bersih di antara ribuan orang, bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya yang iramanya bagaikan lomba maraton, berkejar-kejaran untuk segera sampai di garis akhir.
Dan kini kutertegun manakala sukmaku kembali mengisi ragaku, ternyata merdekaku bukan merdekamu, merdekamu penuh bermakna dalam setiap kehidupanmu di desa yang jauh di sana, tapi merdekaku hanyalah seremoni yang berlalu seiring komando bubar bapak tentara yang menjadi komandan upacara, dan kehidupan itupun kembali seperti sediakala.
Kemiskinan di tengah keserakahan, kebodohan di tengah kecanggihan teknologi, ketidakberdayaan di tengah melimpahnya sumber daya alam, ketidakadilan di tengah kemerdekaan dan keputusasaan oleh janji-janji yang tak pernah terwujud.
Dalam diamku merenung, kapankah merdekaku dan merdekamu menyatu dalam senyum dan berbaur dalam kata, “Merdeka kita semua!” ***