Komisi IV DPRD Samarinda Minta Peran Keluarga Diperkuat di Era Digital

ADVERTORIAL – Ancaman penyalahgunaan game daring terhadap anak kembali disoroti oleh Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi. Ia mengingatkan bahwa platform permainan digital, termasuk Roblox, dapat menjadi ruang rawan bagi pelaku pedofilia untuk mencari mangsa jika anak-anak tidak mendapat pengawasan memadai.

Dalam pandangannya, benteng pertama yang harus dimiliki anak adalah fondasi keimanan yang kuat. “Yang pertama, pastikan kemudian anak-anak kita itu punya pemahaman agama yang baik, itu dulu, karena kalau seandainya kemudian anak-anak kita punya pemahaman agama yang baik, dia punya benteng secara internal,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Kota Samarinda, Senin (11/08/2025) siang.

Namun, Ismail menegaskan bahwa pendidikan agama saja tidak cukup bila tidak diimbangi dengan keterlibatan nyata orang tua dalam keseharian anak. Menurutnya, masalah besar yang dihadapi sekarang adalah menurunnya kualitas interaksi dalam keluarga. “Yang kedua, kita bicaranya kemudian peran orang tua, yang jadi masalah kita sekarang adalah fatherless dan motherless, rasa ketiadaan orang tua, merasa nggak punya bapak merasa nggak punya ibu, padahal bapak dan ibunya secara existing itu ada,” ungkapnya.

Ia menilai kondisi itu dipicu karena anak dan orang tua sama-sama tenggelam dalam dunia gawai, sehingga kedekatan emosional semakin terkikis. “Kenapa nggak merasa, karena tidak ada interaksi antara anak dengan orang tua, anaknya sibuk dengan handphone-nya, orang tuanya juga sibuk dengan handphone-nya akhirnya kemudian anak-anak mencari pelampiasan di yang lain,” terangnya.

Situasi tersebut, menurutnya, membuat anak mencari hiburan dan perhatian di ruang digital. “Nah, pelampiasannya sekarang di dunia digital,” katanya.

Ismail mengingatkan, secara psikologis anak-anak belum siap sepenuhnya berhadapan dengan dunia maya di usia dini. “Ketika berbicara dunia digital kemudian, anak-anak yang mentalnya belum kuat, belum baik, mudah kemudian terbawa arus, makanya kalau kita bicara kemudian pendekatan secara psikologi seharusnya anak-anak itu baru boleh memegang handphone itu di usia sekitar 14 tahun,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa orang tua harus mengambil peran pengawasan utama. “Anak-anak yang usianya di bawah 14 tahun itu secara psikologi mereka mudah larut, makanya tadi orang tua punya kewajiban paling besar kemudian dalam hal ini karena yang memberikan handphone itu orang tua,” tegasnya.

Selain itu, ia juga mendorong orang tua agar tidak ragu memberikan pendidikan seksual sejak dini untuk melindungi anak dari potensi pelecehan. “Sex education itu memang seharusnya idealnya kita kasih sejak awal, dalam pengertian anak-anak tuh harus tahu kemudian mana yang boleh dipegang, mana yang nggak, mana yang boleh diperlihatkan ke orang lain, mana yang tidak,” ujarnya.

Tidak hanya keluarga, lingkungan sekitar pun disebut memiliki peranan penting dalam membentuk mental dan karakter anak. “Selain tadi ada lingkungan yang baik kemudian menghasilkan anak-anak yang punya mentalitas, karakteristik yang baik,” jelasnya.

Sebaliknya, jika lingkungan tempat tumbuh anak tidak sehat, hal itu akan berdampak buruk pada perilaku mereka. “Kalau seandainya kemudian lingkungannya rusak, terbentuklah kemudian anak-anak dengan mentalitas yang rusak, yang pasti orang tua harus mengawasi anaknya dalam penggunaan handphone,” pungkasnya.[]

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *