Samri Shaputra Soroti Jual Beli Lahan Tanpa Dasar Hukum

ADVERTORIAL – Permasalahan lahan di Jalan Sultan Hasanuddin kembali menjadi sorotan pemerintah dan masyarakat, dengan sejarah panjang yang melatarbelakanginya. Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Samri Shaputra, menegaskan adanya berbagai versi mengenai asal-usul polemik tersebut.
“Awal mula permasalahannya ada beberapa versi,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Kota Samarinda, Kamis (14/08/2025) sore.
Salah satu versi yang beredar terkait dengan kebakaran yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Peristiwa itu memaksa sebagian warga untuk direlokasi ke lahan yang kini menjadi sorotan publik. “Jadi awalnya dulu pemerintahan sebelumnya itu pernah terjadi kebakaran,” jelas Samri.
Warga yang terdampak kebakaran kemudian ditempatkan di lahan tersebut. Namun, menurut Samri, sebagian dari mereka sudah tidak lagi menempati lokasi itu. “Kemudian masyarakat itu direlokasi ke sana, bermukim di sana tapi mereka yang direlokasi itu, menurut informasi, itu sudah nggak ada lagi di situ,” ujarnya.
Selain itu, sejumlah informasi menyebutkan bahwa lahan tersebut sempat berpindah tangan melalui transaksi yang tidak resmi, meski hal itu belum dapat dipastikan secara hukum. “Saya tidak tahu juga ada info itu sudah mulai diperjualbelikan,” katanya.
Samri menilai, sebagian warga yang awalnya menempati lahan mungkin menyadari status kepemilikan yang bukan milik mereka, sehingga memilih pindah setelah memperoleh kesempatan atau rezeki lain. “Mungkin yang awalnya itu karena dia sadar bahwa ini bukan lahan mereka, kemudian sudah dapat rezeki, pindahlah di situ,” ucapnya.
Perpindahan tersebut membuka kesempatan bagi pihak lain yang ingin menempati lahan, bahkan bagi mereka yang tidak mengetahui riwayat tanah sebelumnya. “Terus ada ya masyarakat mungkin yang lain tertarik, ya sudah saya aja gantikan, mungkin diganti bangunannya lain sebagainya,” kata Samri.
Ia menambahkan, warga yang datang belakangan kemungkinan tidak memahami latar belakang penggunaan lahan, sehingga menempati lokasi itu tanpa menyadari permasalahan hukumnya. “Jadi, yang mungkin yang belakang-belakangnya nggak ngerti cerita, ini merasa bahwa saya ini tinggal di sini tanpa ada masalah,” ujarnya.
Samri menegaskan bahwa transaksi jual beli di bawah tangan sulit dibuktikan karena tidak ada dasar hukum resmi dan kemungkinan terjadi berdasarkan kesepakatan pihak-pihak terkait. “Informasi juga, itu belum bisa juga dibuktikan karena di bawah tangan kan, gimana kita membuktikan orang juga lahannya bukan lahan mereka. Itu mungkin ya kesepakatan saja,” pungkasnya.
Kasus ini menunjukkan kompleksitas sejarah lahan dan pentingnya penegakan hukum serta transparansi untuk menghindari sengketa di masa depan, sekaligus memberikan kejelasan bagi masyarakat terdampak.[]
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum