Warga Klaim Lahan Dirawat Bertahun-tahun, DPRD Tinjau Tuntutan

ADVERTORIAL – Polemik lahan di Jalan Sultan Hasanuddin kembali menjadi perhatian publik setelah pemerintah berencana memanfaatkan lahan tersebut untuk pembangunan fasilitas pengelolaan sampah. Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Shaputra, menyampaikan bahwa warga yang telah lama menempati lokasi itu menuntut kepastian terkait status lahan yang mereka huni.

“Jadi masyarakat ini menuntut mereka kan sudah mendiami lahan itu sudah lama, tapi bervariasi juga ada yang bilang 30 tahun, ada yang bilang 40 tahun, ada 20 tahun,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Kota Samarinda, Kamis (14/08/2025) sore.

Menurut Samri, permukiman di lahan tersebut terbentuk secara bertahap selama puluhan tahun. “Karena memang datangnya juga berangsur-angsur, mulai dari satu orang, satu rumah, sampai dua rumah dan seterusnya, sekarang sudah menjadi perkampungan padat penduduk,” katanya. Proses bertahap ini membuat sebagian warga merasa memiliki hak moral atas tanah, meski secara administrasi lahan tersebut tercatat milik pemerintah.

Rencana pembangunan fasilitas pengelolaan sampah, yang disebut incinerator atau pembakaran sampah, menimbulkan keberatan dari warga yang merasa sudah lama tinggal di lokasi itu. “Belakangan pemerintah ingin memanfaatkan lahan itu, lahan milik pemerintah,” tutur Samri. Keberatan ini muncul tidak hanya karena penggunaan lahan, tetapi juga terkait ikatan emosional warga terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. “Masyarakat yang merasa dia sudah lama tinggal di situ ya seperti nggak terima, keberatan,” ucapnya.

Meski demikian, Samri menyoroti fakta unik bahwa sebagian warga mengakui secara resmi bahwa lahan itu bukan milik mereka. “Tapi ya lucunya juga karena masyarakatnya, menyampaikan kalau itu memang bukan lahan kami,” tambahnya. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan warga lebih menekankan pada kejelasan kepemilikan daripada klaim sepihak atas tanah.

Tuntutan utama warga adalah kepastian hukum terkait status lahan. “Tuntutannya mereka itu ada kepastian status, kalau itu memang punya pemerintah, sudah tunjukkan bukti kepemilikannya,” jelas Samri. Warga juga merasa berhak atas lahan jika pemerintah tidak dapat membuktikan kepemilikan secara resmi. “Tapi kalau pemerintah tidak mampu menunjukkan dia juga merasa punya hak,” katanya.

Samri menambahkan bahwa alasan warga merasa memiliki hak atas lahan berkaitan dengan lama mereka merawat dan memelihara tanah tersebut. “Merasa punya hak yang sudah memelihara tanah ini selama bertahun-tahun sehingga merasa merawat sehingga merasa punya hak,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memastikan komunikasi yang jelas dengan masyarakat terkait pemanfaatan lahan publik. Kejelasan status tanah serta dialog yang terbuka dinilai penting agar pembangunan fasilitas umum tidak menimbulkan konflik berkepanjangan di tengah warga.[]

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *