DPRD Samarinda: Kenaikan PBB Jangan Bebani, Justru Tingkatkan Nilai Aset

ADVERTORIAL – Kebijakan penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tengah diterapkan secara bertahap di Kota Samarinda mendapat perhatian dari Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Iswandi. Ia menilai langkah tersebut masih dalam batas kewajaran, asalkan dilakukan dengan tidak menambah beban berlebih kepada masyarakat.

“Bertahap wajarlah ya, bukan hanya peningkatan PAD, masyarakat juga pasti akan diuntungkan kalau naiknya nggak terlalu besar wajar,” kata Iswandi saat ditemui usai kegiatan di Kantor DPRD Kota Samarinda, Rabu (27/08/2025) malam.

Ia menekankan bahwa kebijakan penyesuaian pajak semacam ini bukan hanya menyangkut kebutuhan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan juga berkaitan langsung dengan kepentingan warga. Salah satu dampak yang ia soroti adalah nilai appraisal tanah maupun bangunan yang menjadi acuan ketika masyarakat ingin mengajukan pinjaman di bank atau melakukan transaksi jual beli aset. “Karena kadang ini daerah bagus, PBB-nya cuma Rp100.000 – Rp200.000 itu otomatis nanti pengaruhnya dia mau minta pinjaman ke perbankan, appraisal-nya rendah, dia mau jual appraisal-nya rendah,” jelasnya.

Menurut Iswandi, tarif PBB di Samarinda tidak tergolong ekstrem dan masih jauh lebih moderat dibandingkan daerah lain yang mengalami lonjakan sangat tinggi. “Itu saya rasa masih masuk di ini ya, nggak seperti Pati 400% sampai 1000%,” ujarnya.

Lebih jauh ia menilai bahwa masyarakat justru bisa mendapatkan keuntungan jangka panjang dari penyesuaian tersebut. Dengan meningkatnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga tanah maupun bangunan akan ikut terdorong naik sehingga aset warga memiliki nilai yang lebih baik. “Insya Allah nggak, karena itu juga menguntungkan masyarakat karena kalau kita mau pinjaman atau apa itu kan pasti lihat PBB,” tegas Iswandi.

Ia menambahkan, NJOP menjadi salah satu rujukan utama dalam setiap transaksi properti. Ketika nilainya terlalu rendah, harga jual tanah ikut merosot dan masyarakat justru kehilangan potensi keuntungan. “Ada NJOP di situ, nilai jualnya berapa, kalau nilainya terlalu rendah padahal misalkan di Porpo sana masih harga pajaknya cuma Rp200.000, seharusnya sudah Rp500.000 – Rp600.000, pasti kalau jual jadi rendah,” ucapnya.

Hal serupa berlaku ketika masyarakat mengajukan pinjaman ke bank. Dengan NJOP yang rendah, nilai agunan otomatis juga kecil sehingga pinjaman yang bisa didapatkan ikut terbatas. “Hitung NJOP paling kali berapa, dia mau jual kan jadi rendah, dia mau pinjam di bank juga nilainya pasti rendah,” tuturnya.

Iswandi pun menegaskan, penyesuaian PBB sebaiknya dipahami tidak hanya sebagai upaya pemerintah daerah menambah PAD, melainkan sebagai bagian dari strategi meningkatkan nilai aset masyarakat. Menurutnya, keseimbangan dalam penerapan kebijakan ini akan membuat warga tidak merasa terbebani, bahkan bisa merasakan keuntungan ekonomis yang nyata.[]

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *