DPRD Desak Evaluasi Program MBG Usai Temuan Makanan Tak Layak

ADVERTORIAL – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat dan dijalankan di berbagai daerah, termasuk Kota Samarinda, kembali mendapat sorotan publik. Alih-alih menjadi solusi untuk meningkatkan gizi masyarakat, khususnya pelajar, program ini justru menimbulkan masalah setelah sejumlah makanan bantuan ditemukan dalam kondisi tidak layak konsumsi.

Makanan yang dibagikan dilaporkan berbau, basi, hingga berair. Temuan tersebut membuat masyarakat khawatir, sebab makanan yang seharusnya menyehatkan justru berpotensi menimbulkan penyakit. Situasi ini pertama kali mencuat melalui unggahan di media sosial. Bahkan, salah satu sekolah menengah atas negeri di Samarinda disebut mencoba menutupi kenyataan bahwa makanan bantuan MBG tidak layak dimakan oleh siswa.

Kasus ini lantas menyedot perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda. Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Anhar, menilai kejadian tersebut menunjukkan lemahnya sistem kontrol terhadap program besar yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat. “Namanya hal-hal seperti itu, apalagi termasuk proyek besar perlu pendalaman, perlu pengawasan yang ketat,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Kota Samarinda, Senin (15/09/2025).

Menurut Anhar, kualitas makanan yang buruk bukan hanya masalah teknis, tetapi juga ancaman serius bagi kesehatan publik. “Karena berkaitan makanan, kalau saya sejauh ini sudah pasti akan ada terjadi mungkin bisa saja keracunan atau apa, karena kualitas makanannya yang kurang baik segala,” jelasnya.

Ia menegaskan, meskipun MBG merupakan program dari pemerintah pusat, daerah tidak bisa lepas tangan. Pemerintah kota, khususnya dinas kesehatan, harus lebih proaktif melakukan pengawasan agar makanan yang diterima masyarakat sesuai dengan standar kelayakan. “Karena ini program pemerintah pusat, meskipun program pemerintah pusat, ya daerah juga harus mengkritik masalah kelayakannya, kelayakan makanannya dari dinas kesehatan, harus ke situ khususnya dari dinas kesehatanlah,” tegasnya.

Lebih lanjut, Anhar menekankan pentingnya standarisasi menu bergizi sebagai syarat mutlak. Standarisasi itu tidak boleh sebatas formalitas, melainkan harus diterapkan dengan serius agar penerima manfaat benar-benar memperoleh makanan sehat. “Kita tidak tahu yang jelas kan punya standarisasi, standarisasinya itu kan masalah menunya bergizi,” katanya.

Selain itu, pengawasan berkala juga menjadi kunci. Tanpa kontrol yang konsisten, program MBG akan kehilangan kepercayaan publik dan bisa berbalik menjadi bumerang. “Harus memang ada, dan memang ada, pastinya,” tegas Anhar lagi.

Ia juga memberi peringatan keras, apabila kasus serupa terulang hingga menimbulkan keracunan massal atau gangguan kesehatan lainnya, maka hal itu mencerminkan lemahnya sistem pengawasan baik dari pusat maupun daerah. “Kalau terjadi hal-hal seperti itu, berarti kontrol, pengawasannya kurang,” pungkasnya.

Kasus temuan makanan basi dalam program MBG ini memberikan pelajaran penting bahwa keberhasilan program sosial tidak hanya diukur dari jumlah bantuan yang disalurkan, melainkan dari kualitas dan manfaat nyata bagi masyarakat. Ke depan, evaluasi menyeluruh perlu dilakukan agar tujuan utama program – yaitu meningkatkan gizi masyarakat – benar-benar tercapai. Tanpa itu, program yang semestinya menjadi solusi justru bisa merugikan masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi sasaran utama. []

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *