Di Muara Aloh, Air Bangar ‘Serang’ Perikanan Keramba

ikan keramba

KUTAI KARTANEGARA – Petani keramba di Desa Muara Aloh, Kecamatan Muara Muntai, Kutai Kartanegara (Kukar) sedang ‘Siaga 1’, pasalnya air bangar sedang menyerang sungai yang menjadi sumber mata pencarian utama masyarakat setempat.

Selain membuat banyak ikan keramba mati, akibat munculnya air bangar yang menjadikan air sungai di daerah permukiman warga itu menjadi hitam pekat. Air sungaipun tak bisa digunakan untuk dikonsumsi, warga jadi kesulitan air bersih.

Sarpin DPRD Kukar
Sarpin, anggota DPRD Kukar

Kondisi tersebut dilaporkan Sarpin, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kukar saat menggelar reses Jumat (08/12). Dikatakan Sarpin, kondisi warga sekarang memprihatinkan, karena bukan saja dibuat menderita akibat ribuan ikan peliharaan yang mati, tetapi juga sulitnya mencari air bersih.

Sementara kondisi air bangar itu sendiri terjadi sejak sepekan terakhir. “Airnya bangar, pekat seperti kopi,” kata Sarpin wartawan, Minggu (6/12).

Menurutnya, warga di desa itu sangat meng-harapkan perhatian dari pemerintah daerah. Jika memungkinkan warga meminta agar Pemkab Kukar membangun instalasi air bersih. “Karena masyarakat terpaksa mengkonsumsi air yang tidak layak,” terangnya.

Sarpin menambahkan, tidak sedikit nelayan yang mengalami kerugian besar. “Ikan toman saja mati, apalagi kalau diminum manusia. Untuk menekan kerugian, nelayan terpaksa menarik kerambanya ke sungai Mahakam di Muara Muntai. Kondisi ini terjadi setiap tahun,” tuturnya.

Sarpin kembali mengingatkan agar Pemkab Kukar menyediakan air bersih di desa itu. “Bangunkan saja instalasi air bersih, karena masyarakat sangat membutuhkannya,” pungkas Sarpin. [] Advetorial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Lainnya

WELLINGTON — Kasus medis tak biasa terjadi di Selandia Baru setelah seorang remaja laki-laki berusia 13 tahun menelan hingga 100 magnet kecil berkekuatan tinggi yang dibelinya melalui platform belanja daring Temu. Aksi berbahaya tersebut berujung pada operasi besar setelah magnet-magnet itu menyebabkan kerusakan serius pada organ dalam tubuhnya. Remaja itu semula dibawa ke Rumah Sakit Tauranga, Pulau Utara, karena mengalami nyeri perut selama empat hari. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, dokter menemukan adanya kumpulan magnet di dalam usus. “Dia mengungkapkan telah menelan sekitar 80–100 magnet berkekuatan tinggi (neodymium) berukuran 5×2 milimeter sekitar satu minggu sebelumnya,” tulis laporan di New Zealand Medical Journal, Jumat (24/10/2025). Magnet neodymium tersebut sejatinya sudah dilarang beredar di Selandia Baru sejak 2013 karena risiko keselamatan yang tinggi, terutama bagi anak-anak. Namun, laporan mengungkapkan bahwa remaja ini masih bisa membelinya secara daring melalui Temu, salah satu platform e-commerce asal Tiongkok yang tengah populer secara global. Hasil sinar-X memperlihatkan magnet-magnet itu menggumpal membentuk empat garis lurus di dalam perut sang remaja. “Ini tampaknya berada di bagian usus yang terpisah namun saling menempel akibat gaya magnet,” ujar pihak medis. Kondisi itu menyebabkan nekrosis, atau kematian jaringan, di empat area usus halus dan sekum, bagian dari usus besar. Tim dokter bedah kemudian melakukan operasi pengangkatan jaringan mati sekaligus mengeluarkan seluruh magnet dari tubuh pasien. Setelah menjalani perawatan intensif selama delapan hari, remaja tersebut akhirnya diperbolehkan pulang. Dalam laporan medisnya, dokter Binura Lekamalage, Lucinda Duncan-Were, dan Nicola Davis menulis bahwa kasus ini menjadi pengingat bahaya besar yang bisa timbul dari akses bebas anak-anak terhadap produk berisiko di pasar online. “Kasus ini tidak hanya menyoroti bahaya konsumsi magnet, tetapi juga bahaya pasar daring bagi populasi anak-anak kita,” tulis mereka. Selain itu, para ahli juga memperingatkan kemungkinan komplikasi jangka panjang akibat insiden ini, termasuk sumbatan usus, hernia perut, serta nyeri kronis yang dapat muncul di kemudian hari. Menanggapi laporan tersebut, pihak Temu menyampaikan penyesalan dan berjanji akan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. “Kami telah meluncurkan tinjauan internal dan menghubungi penulis artikel New Zealand Medical Journal untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ujar juru bicara Temu dalam pernyataan resminya. Namun, Temu menyebut belum dapat memastikan apakah magnet yang digunakan anak tersebut benar-benar dibeli melalui platform mereka. “Meskipun demikian, tim kami sedang meninjau daftar produk yang relevan untuk memastikan kepatuhan penuh terhadap peraturan keselamatan setempat,” tambahnya. Temu, yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok, beberapa kali dikritik di pasar internasional, termasuk di Uni Eropa, karena dinilai belum cukup tegas dalam menyaring produk berbahaya atau ilegal yang beredar di platformnya. Kasus ini menegaskan pentingnya pengawasan orang tua terhadap aktivitas belanja dan penggunaan internet oleh anak-anak, sekaligus menjadi peringatan bahwa satu klik di dunia digital bisa berujung pada konsekuensi serius di dunia nyata.