Mantan Gubernur Kalbar Harap Kasus Yayasan Mujahidin Segera Tuntas
PONTIANAK-Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) periode 2018-2023, Sutarmidji berharap gonjang-ganjing soal hibah pembangunan Sekolah Menengah Atas (SMA) Mujahidin segera ada kepastian hukum. Pasalnya, dengan adanya pemberitaan yang simpang siur, hingga pemeriksaan Aparat Penegak Hukum (APH) yang tak kunjung tuntas, otomatis mengganggu kegiatan pengelolaan oleh pihak yayasan.
“Saya berharap bisa segera ada kepastian hukum, agar masyarakat tak disajikan berita-berita yang simpang siur, dan mengganggu kegiatan kami dalam mengelola Yayasan Masjid Raya Mujahidin,” ungkap Sutarmidji belum lama ini.
Ia bahkan menyatakan siap memberikan keterangan apapun tentang hal tersebut serta mempersilakan jika ada lembaga yang mau melakukan audit investigasi. “Kalau mau diaudit investigasi dalam penggunaan anggarannya, silakan oleh lembaga auditor mana pun,” katanya.
Midji, sapaan karibnya, lantas menjelaskan tentang pertimbangan memberikan hibah berturut-turut kepada Yayasan Mujahidin untuk pembangunan gedung sekolah tersebut. Semua berawal dari persoalan daya tampung pelajar SMA sederajat di Kota Pontianak yang masih sangat kurang.
Dari data yang ada, kata Midji, setiap tahun jumlah lulusan sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Pontianak mencapai sebanyak 12.400-an pelajar. Sedangkan daya tampung SMA, SMK, MA baik swasta maupun negeri di ibu kota Kalbar ini hanya sebanyak 11.800-an pelajar.
Begitu pula dengan kondisi di Kabupaten Kubu Raya (KKR) yang bertetangga dengan Kota Pontianak. Setiap tahun lulusan SMP di kabupaten tersebut mencapai sekitar 9.600 hingga 9.800 pelajar. Sedangkan daya tampung SMA sederajat di sana, hanya sekitar 5.900 hingga 6.000 pelajar.
“Untuk menghindari anak putus sekolah maka kebijakan pemprov (pemerintah provinsi) adalah membangun sekolah baru, dan menambah ruang kelas, serta minta izin ke mendikbud agar di Kalbar jumlah pelajar dalam satu kelas ditambah. Dari 36 orang per kelas menjadi 38 orang, dan diizinkan. Jadi, tahun ajaran 2024 nanti, per kelas bisa diisi 38 orang,” paparnya.
Dengan penambahan kuota pelajar per kelas itu, Midji menghitung, khusus di Kota Pontianak bisa meningkatkan daya tampung SMA sederajat sekitar 360-an pelajar. Kemudian untuk solusi penambahan sekolah baru, ternyata juga tidak bisa berjalan sesuai harapan. Itu karena untuk mencari lahan yang bisa dibangun sekolah di Kota Pontianak sudah cukup sulit, lalu harga lahan pun mahal, serta prosesnya yang lama.
“Lalu pemprov melihat lokasi yang strategis dan tak jauh dari KKR adalah Mujahidin. Setelah melalui pembicaraan dengan yayasan dalam hal ini Dewan Pembina, dibuatlah perjanjian, pemprov memberi hibah ke Mujahidin untuk membangun sekolah di lahan milik Mujahidin,” jelasnya.
Dari sanalah akhirnya sekolah tersebut dibangun dengan dana hibah selama tiga tahun berturut-turut. Totalnya mencapai Rp22 miliar, dan selesai bangunan sebanyak empat lantai. Terdiri dari lantai dasar berupa rumah toko (ruko) atau gerai, untuk kegiatan bisnis yang bisa menambah pendapatan yayasan. Sedangkan lantai satu dan dua menjadi ruang kelas, dengan total sebanyak 24 kelas. Lantai tiga untuk kegiatan atau fasilitas olahraga.
“Dengan penambahan 24 ruang kelas, maka (SMA) Mujahidin yang setiap tahun hanya menerima tiga hingga empat kelas, sekarang bisa 10 kelas. Artinya tiap tahun bisa tambah 210 pelajar, dan ini bisa menyelesaikan (masalah kurangnya) daya tampung pelajar di Kota Pontianak,” ujarnya.
Sementara untuk daerah kabupaten/kota lainnya, dari target membangun 100 sekolah baru, sampai 2023 pemprov hanya bisa membangun SMA/SMK sebanyak 54 sekolah. “Timbul pertanyaan, kenapa tidak terwujud 100 (sekolah). Tidak bisa terwujud 100 bukan karena pemprov tak punya duit, tetapi karena tidak tersedia tenaga pengelola sesuai persyaratan, dan tidak tersedia guru,” tambahnya.
Sedangkan gonjang-ganjing masalah hibah pembangunan SMA Mujahidin, dikatakan Midji, mulai timbul karena Ketua Yayasan sebelumnya tidak mau hibah dari pemprov digunakan untuk membangun sekolah tetapi ingin dibelikan tanah perkuburan untuk yayasan.
“Dewan pengawas beranggapan yang urgen adalah bangun sekolah, sebagaimana disepakati dalam perjanjian (dengan pemprov). Lalu dewan pengawas merespons pengunduran diri ketua yayasan dan menunjuk ketua yang baru,” terangnya.
Dari sana, lanjut Midji, gonjang-ganjing itu dimulai, dan muncul pula berita-berita fitnah dari salah satu media online di Kalbar. “Katanya (di berita) hibah hingga Rp38 miliar dan lain-lain, padahal hibah hanya Rp22 miliar saja. Setelah ada berita yang tendensius, dan fitnah karena tidak sesuai fakta, maka kejaksaan melakukan penyelidikan,” imbuhnya.
Midji mempersilakan proses hukum itu berjalan. “Tapi yang ingin saya katakan juga, ini (pemberian hibah) merupakan kebijakan saya sebagai gubernur pada waktu itu. Sebagai gubernur saya punya hak diskresi untuk mencari jalan keluar dari masalah minimnya daya tampung (sekolah),” jelasnya.
Menurut dia, kemudian berkembang isu yang menyatakan bahwa sesuai aturan, pemprov tidak boleh memberikan hibah secara terus menerus. “Saya putuskan beri hibah terus- menerus kepada Mujahidin dan Gereja Katedral. Kok boleh, pertimbangannya adalah karena diskresi dari solusi yang belum tersedia,” terangnya.
Selain itu, soal hibah berturut juga ada dasar hukumnya sesuai Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid. Dalam aturan tersebut di BAB III, Midji menyebutkan tentang tipologi masjid. Pertama ada masjid negara, yaitu masjid yang berada di ibukota negara. Dan yang kedua, ada masjid nasional.
Selanjutnya yang ketiga ada namanya Masjid Raya, yakni masjid yang berada di ibukota provinsi, yang ditetapkan gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) sebagai masjid raya. Masjid tersebut menjadi tanggung jawab pemprov. Lalu, yang terakhir ada Masjid Agung, yakni masjid yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.
“Detail semua diatur dalam keputusan (Dirjen Bimas Islam) tersebut. Karena masjid raya dibiayai oleh pemprov, maka tidak termasuk ketentuan yang tidak membolehkan (hibah) terus menerus. Karena dasar hukumnya jelas. Lalu digunjingkan lagi, kenapa kok Yayasan Masjid Raya mengelola sekolah? Dalam aturan itu, justru masjid raya itu kelengkapannya bisa kelola sekolah, kawasan bisnis, rumah sakit, bahkan penginapan,” pungkasnya.(rac)