DI tengah defisit besar-besaran yang menghantui anggaran daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) justru membuat kegiatan yang terkesan membuang-buang uang. Kegiatan itu adalah Festival Kota Raja (FKR) III 2014 yang digelar untuk memperingati hari ulang tahun ke-232 Kota Tenggarong, Ibu Kota Kukar.
Listrik se antero Tenggarong pun dimatikan. Langit Kota Raja, Sabtu (18/10) malam tampak terang benderang, dipenuhi ribuan lampion kertas yang diterbangkan dari Halaman Kantor Bupati Kukar. Kegiatan tersebut merupakan rangkaian FKR III 2014 yang digelar untuk memperingati hari jadi ke-232 Kota Tenggarong.Bupati Kukar Rita Widyasari bersama Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kukar Edi Damansyah dan unsur Forum Kerja Perangkat Daerah (FKPD) setempat secara simbolis melepas lampion, menandai pembukaan festival lampion. Pada kegiatan ini, pihak panitia menyediakan 10 ribu lampion berwarna-warni. Untuk membantu pelepasan ribuan lampion tersebut, pihak panitia melibatkan komunitas-komunitas yang ada di Kukar maupun dari luar Kukar serta masyarakat setempat.
Rita Widyasari dalam sambutannya yang dibacakan Sekkab Edi Damansyah mengatakan, pelepasan ribuan lampion tersebut adalah pertama kalinya di Kaltim. Beberapa kota di Kaltim memang pernah melakukan kegiatan serupa tapi lampion yang dilepas ke udara hanya ratusan. “Ini bisa menghidupkan kembali Pulau Kumala sebagai magnet kunjungan wisata sekaligus menumbuhkembangkan ekonomi kreatif di Kukar,” katanya.
Menurut Rita, pesta lampion menjadi momentum penting bagi masyarakat Kukar untuk terus menggali dan mengembangkan potensi wisata. Berdasarkan berita yang ditulis pihak Humas Pemkab Kukar, kegiatan FKR III disponsori Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim Cabang Tenggarong. Namun tak dijelaskan seberapa besar sokongan dari ‘bank plat merah’ milik daerah ini dan bentuk kerja sama sponsornya.
Di sisi lain, pelaksanaan pelepasan 10 ribu lampion di puncak hari jadi Tenggarong mendapatkan kritik banyak pihak. Di antaranya datang dari Forum Komunitas Pencinta Seni Daerah (FKPSD) Kukar. Ardiansyah menyebut, pesta pelepasan lampion sebenarnya bukan budaya asli Bangsa Indonesia yang tak sepatutnya dilakukan.
“Budaya lampion ini lain budaya asli etam (kita, red), mengapa kita laksanakan terus? Saya hitung ini yang kedua kalinya. Ada banyak budaya asli kita lainnya untuk mewujudkan rasa syukur dan memanjatkan doa kepada Sang Pencipta,” kata Ardiansyah kepada media ini, Senin (20/10).
Selain itu ada juga karnaval dengan pakaian fashion yang juga meniru kebiasaan di Jember, yakni Jember Fashion Carnaval (JFC). “Semangatnya memang untuk melestarikan budaya dan sebagai daya tarik wisata, tapi tidak tepat sasaran. Seni asli kita sama sekali tidak muncul, corak-corak desain fahshion daerah juga musnah. Ini cenderung modern,” papar Ardiansyah.
Di sisi daya tarik swasta, juga tidak berdampak besar. “Kita hitung secara mate-matis saja, jika kita keluarkan uang jutaan bahkan puluhan juta rupiah untuk pesta lampion, berapa banyak wisatawan yang datang ke Kukar yang akhirnya bisa menjadi pemasukan asli daerah? Berapa besar manfaat bagi masyarakat? Dihitung secara cermat,” kata Ardiansyah
Senada dengan Ardiansyah, Sekretaris Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kukar Hasyim Saad juga menyesalkan pesta lampion yang dinilai jauh dari akar budaya lokal. “Kalau mau bersyukur dan berdoa, bisa dengan cara lain. Apa lagi di Kukar, mayoritas muslim. Rasa syukur dan doa harus diarahkan secara syariah. Ini kan bisa bid’ah,” kata Hasyim Saad.
Ke depan, kata Hasyim Saad, pemerintah harus memikirkan ulang untuk meramaikan hari jadi Tenggarong dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa budaya lokal dan jauh lebih bermanfaat dan mengena di masyarakat. “Ini kan kesannya mubazir, padahal pemerintah Kukar sekarang sedang ada masalah keuangan, dibayang-bayangi besarnya defisit anggaran,” pungkas Hasyim. []