Dana Rahasia Kukar Rockin’ Fest
Sudah empat kali KRF digelar dan melibatkan band rock terkenal internasional. Pasti banyak uang dihabiskan untuk acara ini, meski pertunjukannya selalu gratis. Rita Widyasari, Bupati Kukar, disebut-sebut selaku penyokong utamanya. Sayang, besaran dan sumber dananya banyak dirahasiakan.
Kukar Rockin’ Fest (KRF) merupakan ajang pertunjukan musik rock yang diselenggarakan tiap tahun sejak 2012 di Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Tmur (Kaltim). Festival musik beraliran keras ini senantiasa melibatkan grup musik rock terkenal dari dalam dan luar negeri.
Band papan atas kelas dunia yang pernah dihadirkan adalah Sepultura, Helloween, Testament dan terakhir FireHouse. Sementara dari dalam negeri, ada Edane, God Bless dan Power Metal. Dalam pertunjukannya, penampilan grup musik kondang tersebut didampingi banyak band kelas ‘teri’ dari dalam maupun luar daerah.
Hebatnya, walau pertunjukan musik berlangsung berjam-jam serta melibatkan band berbiaya mahal, para penonton dapat menikmatinya secara gratis, tak dipungut biaya sedikitpun. Bahkan belakangan ada doorprize alias hadiah untuk para penonton yang beruntung.
Karena gelaran besar dan mewah yang bebas biaya itu, pada 2014 lalu KRF tercatat di Museum Rekor Indonesia-Dunia (MURI). Sebenarnya, rekor telah didaftarkan sejak kali pertama KRF dilaksanakan tahun 2012, namun sertifikat rekor baru bisa diperoleh dua tahun kemudian.
KRF sendiri pertama digagas oleh Akbar Haka, penggila rock di Kota Raja yang menjadi owner Distorsi Rockholic Company. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, 7 Maret 2014 lalu, Akbar Haka berkisah soal awal mula KRF.
Saat grup musik heavy metal asal Belo Horizonte, Minas Gerais, Brazil sedang melakukan tur ke Asia yang sudah menjadwalkan mampir ke Malaysia dan Indonesia. Dalam keterangan offcial websitenya, tour itu bertajuk Sepultura’s Asian Relentless Tour 2012.
Sementara Akbar Haka mengaku sangat ingin memanfaatkan tur Sepultura agar bisa tampil di Tenggarong. Untuk memuluskan keinginannya, Akbar sampai nekat menggadai rumah orang tuanya seharga Rp 250 juta untuk membayar uang muka tur. “Sayang sekali kalau kesempatan ini tak dimanfaatkan,” kata Akbar.
Setelah membayar uang muka, Akbar termangu karena banyak biaya yang perlu dipenuhi. Ia harus melunasi biaya tur Sepultura sebesar Rp 1,8 miliar. Itu belum termasuk ongkos penerbangan empat personel dan 14 kru dari Brasil ke Indonesia, biaya riders, visa, dan lain-lain. Susah payah ia mencari sponsor untuk menutup biaya produksi, tapi tak berhasil.
Akhirnya Akbar dipertemukan dengan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Akbar menjelaskan kenekatan yang sudah ia lakukan, serta visinya menggelar acara metal skala internasional di Tenggarong.
Rita yang juga penggila musik metal mendukung rencana Akbar dan menyokong penuh dengan mengganti uang yang sudah dikeluarkan Akbar. “Jangan mundur. Harus jalan terus,” kata Akbar menirukan ucapan Rita waktu itu.
Rencana memboyong Sepultura ke Tenggarong perlahan semakin menjadi kenyataan. Sponsor mulai berdatangan dan sepakat menutup sebagian biaya produksi. Promotor di Jakarta dan Makassar juga berminat mengundang Sepultura ke kotanya. Biaya yang mesti ditanggung Distorsi Rockaholic Company, promotor yang dipimpin Akbar, berkurang. “Sepultura kami jual ke Jakarta dan Makassar juga,” ujarnya.
9 November 2012, Sepultura akhirnya manggung bersama band rock nasional Edane. Pertunjukan yang digelar di Stadion Aji Imbut, Tenggarong Seberang berjalan sukses dan disaksikan belasan ribu fans Sepultura dan Edane. Kesuksesannya itu berlanjut ke tahun-tahun berikutnya yang berhasil mendatangkan Helloween, Testament dan FireHouse.
***
Menurut banyak kalangan, apa yang sudah dilakukan Akbar Haka merupakan hal biasa dalam mencari peruntungan usaha. Luar biasanya adalah Rita yang sedia menyokong acara bernilai miliaran rupiah itu untuk ditonton masyarakat secara gratis, yang nyata-nyata penontonnya tak hanya berasal dari Kukar, tetapi juga dari daerah lain.
Dalam sebuah artikel di media lokal, bahkan disebut bahwa konser spektakuler pertama kali tahun 2012 didanai secara pribadi oleh Rita Widyasari, bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kukar. Konser saat itu disebut menjadi puncak dalam rangkaian acara peringatan Hari Ulang Tahun Kota Tenggarong ke-230.
Belakangan, nama Gerbang Raja melibatkan diri dalam pelaksanaan KRF. Gerbang Raja sendiri berarti Gerakan Pembangunan Rakyat Sejahtera, slogan politik Rita Widyasari dalam memimpin Kukar. Dalam brosur KRF 2015 yang disebar, disebutkan bahwa KRF 2015 adalah persembahan Gerbang Raja.
Pada konferensi pers KRF 2015 awal Maret lalu di Pendopo Bupati Kukar, Tenggarong, Rita tak berkenan menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk menggelar KRF, tentunya termasuk soal detail sumbernya. “Rahasia,” jawab Rita menjawab pertanyaan wartawan soal biaya gelaran KRF 2015.
Saat konferensi pers, hadir Viky Pujo Rahmanto, Kepala Cabang Bank Pembangunan Daerah (BPD) Kaltim. Dijelaskan Viky, BPD Kaltim ikut menyokong kegiatan itu dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Bantuan untuk KRF 2015 adalah kedua kalinya setelah gelaran KRF 2014 yang mendatangkan Testament, band beraliran thrash metal asal Berkeley, California. Sayang, ketika dimintai keterangan secara terpisah, Viky tak mau menyebut berapa duit yang dikeluarkan BPD Kaltim untuk mensponsori KRF. “Itu rahasia,” kata Viky, kompak dengan jawaban Rita.
Dalam pemaparannya saat konferensi pers, Viky menyebut bahwa terlibatnya BPD Kaltim dalam KRF tidak lain karena keinginan Rita Widyasari. Saking pentingnya peran Rita soal keterlibatan BPD Kaltim mendukung KRF, Viky sempat ‘keseleo lidah’ yang menyebut Rita Widyasari adalah pemilik saham BPD Kaltim. Padahal yang benar, Pemkab Kukar yang punya saham. Pada 2014 lalu, sahamnya tercatat sebesar Rp 435 miliar.
“Partisipasi kami dalam KRF merupakan CSR. Kami selalu mendukung program pembangunan yang dicanangkan Ibu Rita,” kata Viky sesaat akan meninggalkan Pendopo Bupati.
Bagi Rita Widyasari, KRF menjadi penyemangat dalam pembangunan, terutama untuk memperbaiki infrastruktur daerah karena jumlah tamu yang berkunjung ke Kukar terus meningkat. KRF lebih dari sekadar hiburan dan menjadi salah satu even yang membuat pemerintah daerah terus berbenah. Rita bangga, dengan even itu Kukar makin dikenal dari dalam maupun luar negeri.
“Ini merupakan konser keempat yang bertaraf internasional, gratis kami sajikan. Kami pun berdendang sambil terpacu menyiapkan infrastruktur lebih baik. Karena kami sadar sekali bahwa tamu akan semakin banyak yang datang,” ujar bupati perempuan pertama di Kalimantan itu.
Meski bertaraf internasional, KRF tetap menjadi level hiburan rakyat. Sama halnya pembangunan infrastruktur di Kukar, politikus Partai Golkar itu enggan memberikan yang tanggung-tanggung. Karena, baik infrastruktur maupun hiburan KRF memiliki kesamaan. Yakni, sama-sama dinikmati masyarakat. Kepekaan Rita membuat dirinya tak pernah merasa sungkan untuk menyuguhkan yang terbaik bagi warga Kukar. Termasuk hiburan terbaik. “Makanya tetap disuguhkan secara gratis buat masyarakat, meski ini sudah bertaraf internasional,” ungkap Rita.
Menurut Rita, penggemar musik aliran cadas itu ada di berbagai penjuru dunia. Apalagi, hentakan musik keras mewakili semangat anak muda untuk membangun. “Dan, semangat anak muda inilah yang harapannya bisa membuat Kukar semakin maju,” ungkap Rita.
Rita berharap agar banyak kesan yang didapat dari pertunjukan ini. Sehingga, pengunjung yang pulang dari Kukar, bisa membawa cerita bagi sanak keluarga serta keluarga di daerah asal. Termasuk pengunjung dari luar negeri yang juga membawa ‘oleh-oleh’ cerita tentang budaya dan kondisi masyarakat sehingga nama Kukar semakin mendunia.
Hal itu terlihat pada 2012 lalu, saat foto gitaris Sepultura, Andreas memakai baju batik khas Kutai sambil memegang alat musik gambus yang ia unggah sendiri ke website pribadinya, telah membuat heboh komunitas musik rock di seluruh dunia. Foto yang diambil di Museum Mulawarman, Tenggarong, itu secara tak langsung membuat dunia ingin lebih mengetahui Kukar.
Menurut Akbar Haka, yang juga membanggakan adalah saat beberapa daerah di Indonesia mulai meniru langkah Kukar, dengan menghelat even musik rock sebagai daya tarik pengunjung. Seperti di Solo, Jakarta, Bandung, dan Makassar. Hanya, KRF masih tercatat sebagai even musik rock terbesar di Indonesia.
“Banyak daerah yang mulai mengadakan acara seperti ini. Tapi yang gratis dan terbesar serta bertaraf internasional baru di Tenggarong. Karena, KRF ini sudah menjadi referensi promotor luar negeri karena selalu sukses setiap penyelenggaraannya,” kata Akbar Haka.
KEPENTINGAN PILKADA
Sudah maklum bagi khalayak bahwa penggemar musik rock adalah kalangan muda, termasuk para pemilih pemula yang jumlahnya sangat potensial. Menurut pengamat politik di Kukar, Max Donal Tindage, ide KRF adalah ide jenius untuk tujuan Pilkada.
“KRF memang bukan hiburan belaka, banyak uang dihabiskan juga untuk tujuan menarik simpati para pemuda, terutama pemilih pemula yang jumlahnya cukup signifikan,” kata mantan wakil rakyat dari partai ‘berlambang merci’ ini kepada media ini.
Pemuda, termasuk pemilih pemula yang menjadi penggila musik rock, kata Max Donal, adalah kalangan yang solid dan tak mudah diiming atau didikte, bahkan mereka cenderung menjadi penyampai. “Mengundang band terkenal dari luar negeri dengan biaya mahal lalu menggratiskan, itu membangun imej bahwa Rita peduli pemuda. Pemuda yang sadar, tanpa diminta akan menjadi tim kampanye yang tak teridentifikasi dan tak terorganisasi,” papar Max Donal.
Soal konser KRF yang bukan saja pemuda dari Kukar yang menikmati, dia mengakui itu. Artinya, tujuan citra yang dibangun bukan untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kukar, melainkan Pilkada Kaltim. “Memang bukan untuk pemilihan bupati, karena sudah pasti menang. KRF ini untuk agenda lain, yakni Pemilihan Gubernur,” ujar Max Donal.
KEGANJILAN
Sementara kritik atas penyelenggaraan KRF datang dari INTRIK, non governmental organization (NGO) yang konsen terhadap pembangunan di Kukar. Direkturnya, Fatahuddin menilai, KRF ini memberikan manfaat yang tidak signifikan bagi pembangunan kesejahteraan rakyat Kukar. Apalagi biaya KRF banyak dirahasiakan, justru menimbulkan keganjilan, jangan-jangan ada yang menyimpang disembunyikan.
“Walaupun dirahasiakan, tetapi kita sudah bisa perkirakan berapa uang yang dikeluarkan untuk KRF, mencapai Rp 5 miliar, bahkan lebih. Asumsinya pada tahun 2012, berdasarkan pengakuan promotor, ongkos mendatangkan Sepultura di Kukar seharga Rp 1,8 miliar. Itu belum termasuk Edane dan cost lainnya,” papar Fatahuddin.
Dia mengakui, memang tidak ada indikasi menyedot anggaran besar dari APBD Kukar, tetapi bukan berarti tidak ada aroma penyimpangan. “Siapa bilang KRF tidak memakai dana APBD? Kalau tidak menyedot anggaran besar dari APBD itu pasti. Tetapi hal-hal lain, tetap memakai fasilitas daerah yang dibiayai APBD. Contoh, saat sambut tamu di Pendopo Bupati, disediakan konsumsi dan lainnya, itu dari APBD,” kata mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia (PMII) ini.
Soal penyimpangan yang mungkin terjadi, ungkap Fatahuddin, ada dua hal, pertama gratifikasi dan kedua abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Soal gratifikasi, itu terjadi jika kepala daerah, dalam hal ini Rita Widyasari, menerima uang untuk kemudian disumbangkan ke acara KRF dengan nama pribadi atau kepentingan kelompoknya.
Sementara soal penyalahgunaan wewenang, Fatahuddin menilai, itu dapat terjadi jika Rita menggunakan wewenangnya sebagai kepala daerah untuk ‘menekan’ perusahaan untuk menyalurkan dana bantuan untuk penyelenggaraan KRF. Contohnya ketika BPD Kaltim menyalurkan dana CSR-nya untuk KRF dengan dalih atas keinginan Bupati.
“Ada yang bilang konser band rock ini dibiayai dari kantong pribadi Rita Widyasari, ada juga yang bilang hasil sumbangan banyak pihak. Tapi ini harus diperjelas sumber dan besaran dananya, agar tidak ada kecurigaan yang timbul. Jangan dirahasiakan,” kata Fatahuddin.
Jika seluruh biaya berasal dari kantong Rita, jika memang benar demikian adanya, menurut dia, bisa dipastikan uang itu didapat dari perbuatan melawan hukum. “Seluruh gaji dan tunjangan bupati kalau dikumpulkan selama setahun, tidak sampai Rp 1 miliar. Jadi dapat uang darimana?” ujar Fatahuddin.
Sementara jika menggunakan uang penunjang operasional kepala daerah, juga tidak bisa diatasnamakan pribadi. “Kan katanya uang pribadi Rita, jadi tidak mungkin KRF pakai dana operasional, itu dari APBD. Kalau sedikit-sedikit mungkin bisa, tergantung fasilitasinya,” terang aktivis pegiat anti korupsi ini.
Sementara perbuatan melawan hukum yang mungkin terjadi seperti maksud Fatahudin adalah gratifikasi. Rita bisa saja dituduh menerima uang ‘setoran’ dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kukar atau yang punya kepentingan dengan Rita sebagai Bupati Kukar. Uang yang diterima itu kemudian diberikan untuk penyelenggaraan KRF.
“Melihat brosur KRF, kegiatan itu dipersembahkan Gerbang Raja. Orang awam pasti tahu, Gerbang Raja itu punya Rita. Tapi Gerbang Raja itu apa? Punya badan hukum atau tidak? Dapat uang darimana bisa mempersembahkan KRF ? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pasti muncul di masyarakat,” papar Fatahuddin.
Perbuatan melawan hukum lainnya, lanjut Fatahuddin, penyalahgunaan wewenang untuk tujuan memperkaya diri atau orang lain. “Pasti jadi pertanyaan, kenapa perusahaan-perusahaan, termasuk BPD Kaltim menyalurkan uangnya untuk KRF. Itu uang miliaran, apa sepadan dengan promosi segitu besar ? Coba saja bikin kegiatan kemasyarakatan, kalau bukan atas nama Rita sebagai bupati, BPD Kaltim tidak akan membantu,” ujar Fatahuddin.
Kalau mengatasnamakan CSR, kata dia, biasanya berkaitan langsung dengan pembangunan. “KRF kan untuk hiburan yang biasa dikomersilkan. Kalau ada yang bilang KRF dapat memacu perkembangan usaha kecil, itu tidak signifikan,” tandas Fatahuddin.
Dengan uang miliaran rupiah, menurut pendapat dia, mending digunakan untuk membantu permodalan usaha kecil dan mikro, itu lebih terasa manfaatnya. Kalau tujuannya promosi dan agar Kukar dikenal dunia, dengan uang miliaran rupiah, masih banyak cara lain yang lebih efektif.
“Yang juga saya sesalkan, sebagian saudara-saudara kita di Kukar sedang jadi korban musibah banjir. Di satu sisi berpesta, berjingkrak-jingkrak dengan menghabiskan uang berlimpah, tapi yang lainnya sedang sengsara. Apakah itu etis?” tanyanya mengakhiri pembicaraan dengan media ini. []