KHDTK Unmul Dirusak Tambang Ilegal, Publik Kecam Lambannya Penegakan Hukum

SAMARINDA – Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) milik Universitas Mulawarman (Unmul) yang semestinya menjadi pusat pendidikan dan konservasi, justru dirusak oleh aktivitas pertambangan ilegal.
Dalam sepekan pertama April 2025, lahan seluas 3,26 hektare di wilayah tersebut diketahui telah dibuka paksa untuk kegiatan tambang yang belum diketahui secara pasti pelakunya.
Meski telah dua pekan lebih berlalu sejak kerusakan itu terungkap, hingga kini belum ada tindakan konkret dari aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah. Hal ini memicu kekecewaan publik, terutama dari kalangan aktivis lingkungan.
“Seharusnya ada respons cepat karena bukti-bukti visual sudah berseliweran di publik,” kata Mareta Sari, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, kepada wartawan.
Ia menekankan bahwa lambannya tindakan dari pihak kepolisian dan Gakkum LHK Kalimantan membuka peluang terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.
KHDTK Universitas Mulawarman—termasuk Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS)—telah ditetapkan sebagai kawasan pendidikan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.241/MENLHK/SETJEN/PLA.0/6/2020. Status tersebut menegaskan bahwa kawasan seluas lebih dari 300 hektare itu harus dijaga sebagai laboratorium alam untuk pendidikan, pelatihan, dan riset kehutanan.
Namun kenyataannya, sejak 2007 kawasan ini telah dikepung oleh lima perusahaan tambang yang mengantongi izin eksplorasi maupun produksi. Beberapa di antaranya bahkan tercatat pernah memicu pencemaran lingkungan di sekitar KHDTK.
Jatam menyebut, peringatan dini terkait ancaman pertambangan sebenarnya telah disampaikan pengelola pada Agustus 2024. Namun, laporan itu tidak mendapat tindak lanjut berarti.
“Ini bentuk kelalaian struktural. Kalau aparat di daerah tidak tegas, maka pemerintah pusat—dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—harus segera turun tangan,” lanjut Mareta, yang akrab disapa Eta.
Kondisi terkini di lapangan menunjukkan pembukaan lahan dilakukan secara sistematis dan tidak meninggalkan rambu-rambu yang mengindikasikan legalitas aktivitas tambang. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kegiatan tersebut dilakukan secara ilegal dan disengaja untuk meraup keuntungan dari kawasan konservasi.
Hingga berita ini disusun, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian maupun pemerintah daerah terkait identitas pelaku, bentuk sanksi, atau upaya pemulihan kawasan.
Jatam dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Timur mendesak agar pemerintah tidak hanya berhenti pada investigasi administratif, tetapi juga segera menindak secara hukum aktor-aktor yang terlibat.
“Penegakan hukum harus jadi prioritas. Tanpa sanksi tegas, kawasan pendidikan akan terus menjadi korban eksploitasi,” tutup Mareta.
Kejadian ini menambah daftar panjang konflik agraria dan kehutanan di Indonesia, khususnya yang bersinggungan dengan aktivitas pertambangan.
KHDTK seharusnya menjadi contoh kawasan yang dilindungi dan diberdayakan demi generasi masa depan, bukan justru dikorbankan demi kepentingan ekonomi sesaat. []
Nur Quratul Nabila A