Bibit : Pemerintah Desa Tolak Pendamping

Bibit Samad Rianto saat menjadi pembicara pada pelatihan Pra Tugas Tenaga Ahli P3MD.

PENDAMPING profesional yang rekrutmen serta penugasannya berada di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonsia ternyata belum disadari betul urgensi keberadaannya. Buktinya, Bibit Selamat Rianto mengungkap bahwasannya selama empat bulan dia ditugaskan menjadi Ketua Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa, banyak laporan yang masuk dari pemerintah desa yang menolak keberadaan pendamping desa.

“Banyak laporan yang masuk dari perangkat desa, menolak pendamping desa,” ujar mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini di hadapan ratusan pendamping profesional saat menjadi nara sumber pada acara Pra Tugas Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten/Kota Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa di Hotel Best Western, Mangga Dua Selatan, Jakarta, Rabu petang (18/10/2017).

Sayangnya Bibit tidak menjelaskan secara detail, apa alasan penolakan para kepala dan perangkat desa terhadap keberadaan pendamping desa. Ia juga tidak merinci, berapa jumlah laporan yang masuk terkait penolakan terhadap keberadaan pendamping desa.

Di lain pihak, Tusiman, Ketua Lembaga Investigasi Tindak Pidana Korupsi (LiTIPIKOR) Aparatur Negara Kalimantan Timur menjelaskan, penolakan pemerintah desa atas keberadaan pendamping desa karena adanya ketakutan, baik dari kepala desa maupun perangkat desa bahwa pendamping desa dapat membahayakan revolusi kultur yang tidak baik pada pemerintahan desa yang ada sekarang.

Bibit saat berpose dengan sejumlah Tenaga Ahli P3MD.

“Visi dan misi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa itu kan ideal sekali, praktiknya bagaikan dua kutub magnet yang saling bertolak belakang. Sementara, keberadaan pendamping profesional itu kan bekerja untuk mewujudkan visi Undang-Undang Desa. Sementara ini praktik penyelenggaraan pemerintah desa banyak salahnya. Jadi kalau ada pendamping desa datang mengoreksi, pasti dibenci,” papar Tusiman.

Pendamping profesional dari Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (P3MD), lanjut dia, kan baru muncul tahun 2015, sejak adanya Dana Desa. Sebelum itu, desa sudah mengelola banyak uang, baik dari Alokasi Dana Desa (ADD) dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah. “Berdasarkan hasil investigasi kami, penggunaannya kan gila-gilaan, melibatkan banyak pihak. Jadi, jangan heran meskipun desa ini sudah sejak lama dapat kucuran dana besar, tetapi kemandiriannya belum banyak yang bisa terwujud. Ini karena deviasinya besar,” tandas Tusiman.

Tusiman

Nah, keberadaan pendamping desa kan ditakutkan aparatur desa bakal mengganggu praktik deviasi itu, sehingga penolakan banyak terjadi. “Orang-orang di desa itu umumnya sudah ngerti aturan, ngerti bagaimana menjalankan pemerintahan desa. Ditambah lagi, selama ini juga sudah ada asistensi dari pemerintah daerah. Jadi, adanya penyimpangan, bukan soal tidak mengerti, tapi soal mental aparatur desa yang memilih berada pada status quo, bertahan untuk kepentingan pragmatis individual,” papar Tusiman.

Pertanyaannya, apakah dana sebesar Rp 1,8 triliun yang disediakan pihak Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sia-sia? Menurut Tusiman, tidak juga. Karena tidak sedikit juga desa yang mengaku merasa terbantu dengan keberadaan pendamping. “Saya beberapa kali berdiskusi dengan kepala dan perangkat desa, ada juga kok yang senang. Tapi, kerja pendamping ini harus benar-benar membantu desa, bukan malah merecoki, ada udang di balik batu, mencari keuntungan pribadi. Kalau diminta bantu menyusun perencanaan, jangan pasang tarif. Itu yang tidak disukai,” tuturnya. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *