DLH Kaltim Kawal Penyelesaian Izin Lingkungan HKI

SAMARINDA — Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Kaltim (Kaltim) melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memainkan peran sentral dalam memediasi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat adat Kampung Muara Siram, Kecamatan Bongan, Kabupaten Kutai Barat, dengan pihak PT Hamparan Khatulistiwa Indah (HKI) selaku pengelola pabrik pengolahan kelapa sawit.
Persoalan yang mencuat sejak 2021 ini berpusat pada dugaan ketidaklengkapan izin lingkungan, khususnya dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi syarat utama sebelum pabrik diizinkan beroperasi. Berbagai pihak pun terlibat dalam dinamika tersebut, mulai dari masyarakat adat, lembaga adat, hingga pemerintah daerah.
Kepala DLH Kaltim, Anwar Sanusi, menegaskan bahwa langkah mediasi diambil sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memastikan keadilan semua pihak. “Kami sedang melakukan penelaahan mendalam terhadap seluruh dokumen perizinan perusahaan ini. Fasilitasi ini penting agar tidak terjadi kesalahpahaman berkepanjangan,” ujarnya, Rabu (30/4/2025) kemarin.

DLH Kaltim secara resmi memfasilitasi penyelesaian konflik tersebut dengan memanggil pihak perusahaan, perwakilan masyarakat, dan instansi teknis lainnya untuk duduk bersama mencari titik temu. Mediasi ini menitikberatkan pada penjelasan legalitas izin, penilaian dokumen AMDAL, serta pendataan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.
Kepala Bidang (Kabid) Tata Lingkungan DLH Kaltim M Chamidin menjelaskan bahwa hasil telaah sementara menunjukkan dokumen lingkungan PT HKI belum dapat disetujui. “Kami mempertimbangkan keberatan masyarakat, potensi konflik sosial, hingga ketersediaan bahan baku dan pemanfaatan air Sungai Bongan,” tuturnya.
DLH Kaltim memastikan penghentian sementara aktivitas pabrik akan terus berlaku hingga seluruh kewajiban izin dipenuhi. “Kalau belum lengkap semua perizinannya, kami tidak akan mengeluarkan rekomendasi operasional. Kami ingin suasana tetap kondusif,” kata Anwar.
Dari sisi masyarakat, penolakan keras datang dari Panglima Besar Laskar Mandau Adat Dayak Kutai Banjar, Rudolf. Ia menegaskan pihaknya merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses pembangunan pabrik. “Kami menolak karena izin lingkungan belum tuntas dan masyarakat tidak dilibatkan,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, DLH Kaltim menegaskan komitmen memfasilitasi ruang dialog terbuka. Seluruh pihak diminta mengedepankan musyawarah agar penyelesaian berjalan adil. “Kami akan terus memediasi sampai semua pihak mendapat kepastian yang seimbang, baik dari sisi hukum maupun sosial,” tegas Anwar Sanusi.
Selain memediasi sengketa, DLH Kaltim juga melakukan penilaian ulang dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Proses evaluasi mendalam itu dilakukan agar operasional industri sawit tidak menimbulkan dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan.
Sejumlah pakar lingkungan menilai, keterbukaan fasilitasi DLH Kaltim menjadi kunci meredam konflik sekaligus memastikan aktivitas industri selaras dengan kepentingan masyarakat adat. Pemerintah provinsi diharapkan mengawal mediasi hingga lahir keputusan yang tegas dan memiliki kepastian hukum.
Ke depan, DLH Kaltim memastikan seluruh upaya penanganan akan berorientasi pada keseimbangan pembangunan ekonomi dan pelestarian ekologi. “Tidak ada kebijakan yang boleh mengorbankan hak masyarakat atau merusak lingkungan,” pungkas Anwar.
Sementara dalam operasionalnya, HKI memperoleh surat persetujuan beroperasi di luar kawasan industri dari Kementerian Perindustrian melalui dua surat resmi. Pertama, surat dengan nomor 2724/SKPBKI/PWI/XI/2024 untuk kode KBLI 10432 tentang Industri Minyak Mentah Inti Kelapa Sawit (Crude Palm Kernel Oil). Kedua, surat Nomor 2725/SKPBKI/PWI/XI/2024 untuk kode KBLI 10431 tentang Industri Minyak Mentah Kelapa Sawit (Crude Palm Oil). Persetujuan ini merujuk pada ketentuan dalam Pasal 62 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Panglima Besar Laskar Mandau Adat Dayak Kutai Banjar Rudolf yang juga hadir dalam rapat fasilitasi itu secara tegas menyatakan penolakannya terhadap perusahaan yang beroperasi tanpa izin lingkungan yang sah. “Pabrik PT Hamparan Khatulistiwa Indah ini dibangun dan mulai commissioning tanpa izin sama sekali. Tindakan ini sangat kami tolak, karena masyarakat adat yang berada di wilayah itu merasa tidak pernah dilibatkan dan justru dirugikan oleh kehadiran pabrik ini,” ungkap Rudolf dalam pertemuan itu.
Selain permasalahan perizinan, keterbatasan sumber daya air juga menjadi masalah krusial. Diketahui, kapasitas air di wilayah tempat pabrik berdiri sangat terbatas dan dianggap tidak cukup untuk mendukung operasional dua pabrik dalam radius hanya satu kilometer. Kedua pabrik tersebut menggunakan sumber air dari sungai yang sama, yakni Sungai Bongan, yang juga digunakan oleh masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. “Kalau air sungai terus digunakan dalam skala industri, apalagi untuk dua pabrik sekaligus, maka yang rugi adalah masyarakat. Potensi pencemaran limbah juga tinggi dan bisa merusak lingkungan serta ekosistem sungai,” imbuhnya.
Rudolf meminta agar Pemprov Kaltim untuk segera turun menyelesaikan persoalan ini. Pasalnya, yang terdampak akibat adanya perusahaan tersebut adalah masyarakat, belum lagi soal pencemaran lingkungan akibat aktivitas pengolahan industri kelapa sawit. “Kami meminta kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim agar bertindak tegas. Jangan beri ruang kepada perusahaan yang tidak patuh aturan,” tegasnya.
Penulis: Nur Quratul Nabila | Penyunting: Enggal Triya Amukti | ADV Diskominfo Kaltim