DPRD Kaltim Tolak Wacana KPU Jadi Lembaga Sementara

ADVERTORIAL – Gagasan untuk mengubah status Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi lembaga ad hoc pasca-Pemilu 2024 terus memantik perdebatan. Tak hanya soal efektivitas pelaksanaan pemilu ke depan, wacana tersebut juga dikhawatirkan berdampak luas terhadap stabilitas lembaga negara lain yang juga mendapat pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Wakil Ketua Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Agus Suwandy, mengingatkan bahwa keputusan untuk menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi kelembagaan yang lebih besar. Ia menilai, perubahan semacam itu bisa membuka jalan bagi lembaga penerima hibah lainnya untuk menuntut perlakuan serupa.
“Suatu kewajaran orang mengusulkan dibuat ad hoc, nanti KONI dan KPID juga diminta ad hoc, tidak bisa begitu, mereka dibiayai oleh pemerintah sesuai aturan undang-undangnya serta jangka waktunya jelas,” kata politisi Partai Gerindra ini saat ditemui di Samarinda, Kamis (26/06/2025).
Agus menyatakan bahwa KPU memiliki tanggung jawab penting dalam menjaga keberlanjutan demokrasi. Status kelembagaan yang permanen memungkinkan koordinasi, tanggung jawab, dan pelaksanaan program strategis tetap berjalan meski tidak sedang berada dalam tahun politik.
“Namanya komisi itu sebagai penerima hibah berkelanjutan, jadi kalau dia dipilih dalam rangka saat bekerja jelang Pemilu, dia tidak bagus dalam menyiapkan dan kalau di ad hoc tidak ada yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Ia mengingatkan, keberadaan KPU sebagai institusi permanen bukan tanpa alasan. Tugas lembaga ini mencakup lebih dari sekadar menyelenggarakan Pemilu lima tahunan. KPU juga bertanggung jawab dalam hal pemutakhiran data pemilih, pendidikan pemilih, dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan hibah negara.
Agus menilai bahwa jika ide ad hoc diterapkan pada KPU, maka tanggung jawab struktural dan akuntabilitasnya akan goyah. Hal ini dapat menciptakan ruang kekosongan administratif yang berdampak pada kualitas dan integritas pemilu.
“Jangan sampai pemilu diperlakukan seperti proyek musiman. Demokrasi membutuhkan kerja yang konsisten, bukan hanya tampil saat ada hajat politik,” tegasnya.
Saat ini, struktur ad hoc di bawah KPU sudah berjalan melalui badan penyelenggara sementara seperti Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang aktif selama masa tahapan Pemilu. Namun, menurut Agus, pengelolaan secara menyeluruh tetap harus berada di tangan lembaga yang solid dan permanen.
Dengan mempertimbangkan stabilitas sistemik, ia menilai wacana menjadikan KPU sebagai lembaga ad hoc sebaiknya tidak dilanjutkan. Ia berharap perbaikan sistem Pemilu lebih difokuskan pada penguatan kapasitas kelembagaan yang ada, bukan dengan melemahkan fondasi yang telah dibangun.
Penulis: Selamet | Penyunting: Enggal Triya Amukti