Jawaban Lengkap Sutarmidji Soal Polemik Hibah Pembangunan SMA Mujahidin

H. Sutarmidji, SH, M.Hum Gubernur Kalimantan Barat periode 2018 – 2023
PONTIANAK, PRUDENSI.COM-Gubernur Kalimantan Barat periode 2018 – 2023, Sutarmidji kembali tampil memberikan jawaban seiring merebaknya simpang-siur informasi terkait pemberian dana hibah untuk pembangunan SMA Mujahidin Pontianak.
Penjelasannya kali ini secara rinci menguraikan kronologis, dasar hukum, dan pertimbangan strategis dibalik keputusan tersebut, termasuk urgensi penambahan daya tampung siswa sekolah di Pontianak dan Kubu Raya.
“Adanya simpang-siur berita tentang hibah kepada Yayasan Mujahidin mendorong saya untuk menjelaskan kronologis dan kajiannya,” kata Sutarmidji kepada awak media, Senin (22/09/2025).
Tekan Angka Putus Sekolah
Persoalan daya tampung menjadi masalah klasik yang terus membayangi dunia pendidikan di Kalimantan Barat. Sutarmidji menyatakan, bahwa kebijakannya untuk memberikan pemberian hibah kepada Yayasan Mujahidin bermula dari fenomena tersebut.
“Untuk menambah ruang belajar SMA Mujahidin—dipertimbangkan karena banyak anak tamatan SMP yang putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan ke SMA/SMK akibat masalah daya tampung. Untuk Pontianak dan Kubu Raya saja, setiap tahun waktu itu hampir 4.500 anak yang putus sekolah,” katanya.
Ia bahkan menyebut, berdasarkan data Dinas Pendidikan Kalbar, bahwa kemampuan daya tampung kelas 10 SMA negeri dan swasta di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya saling berkaitan erat karena kedua wilayah ini berdampingan. Banyak siswa asal Kubu Raya juga memilih melanjutkan pendidikan di SMA yang berada di Pontianak.
“Namun, daya tampung sekolah di Pontianak tidak sepenuhnya mampu menutupi kekurangan daya tampung yang ada di Kubu Raya. Pada 2019, jumlah lulusan SMP negeri dan swasta di Pontianak mencapai 10.933 siswa, sedangkan daya tampung kelas 10 yang tersedia berjumlah 11.044 kursi, sehingga terdapat kelebihan 111 kursi,” katanya.
“Sementara itu, di Kubu Raya, jumlah lulusan SMP sebanyak 9.027 siswa, sedangkan daya tampung hanya 6.308 kursi, sehingga terjadi kekurangan 2.719 kursi,” tambah Sutarmidji.
Pada tahun-tahun berikutnya, ketidakseimbangan daya tampung ini semakin terlihat. Pada 2020, selisih daya tampung di Pontianak berkurang menjadi 463 siswa, sedangkan di Kubu Raya kekurangannya mencapai 5.110 siswa. Tahun 2021, selisih di Pontianak menjadi 628 siswa, sementara Kubu Raya kekurangan 3.096 siswa.
Kemudian di tahun 2022, Pontianak mencatat selisih 182 siswa, sedangkan Kubu Raya kekurangan 3.265 siswa. Pada 2023, Pontianak sempat mengalami kelebihan 17 kursi, tetapi Kubu Raya masih kekurangan 817 siswa. Pada 2024, kekurangan kembali terjadi di Pontianak sebanyak 206 siswa, sedangkan di Kubu Raya mencapai 4.691 siswa.
“Data ini memperlihatkan bahwa meskipun sebagian siswa Kubu Raya bersekolah di Pontianak, kapasitas SMA di Pontianak tetap tidak cukup untuk mengatasi kekurangan yang besar di Kubu Raya,” jelasnya.
Kondisi ini, lanjut Sutarmidji, menegaskan perlunya upaya serius untuk menambah kapasitas sekolah dan meningkatkan sarana prasarana pendidikan, agar seluruh lulusan SMP dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA/SMK tanpa hambatan.
Benahi IPM Kalbar
Selain itu, penambahan ruang belajar atau peningkatan daya tampung sekolah ini berbanding lurus dengan dorongan untuk terus menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalbar, yang hingga kini masih menjadi yang terendah di antara lima provinsi di Kalimantan.
“Salah satu komponen penting dalam penghitungan IPM adalah sektor pendidikan. Secara khusus, indikator pendidikan yang perlu ditingkatkan adalah ‘Lamanya Harapan Belajar’ bagi anak usia 18 tahun. Saat ini, rata-rata lama sekolah di Kalbar masih rendah, yang mencerminkan kurangnya kesempatan pendidikan bagi masyarakat,” terang Sutarmidji.
“Kondisi ini tidak lepas dari kenyataan bahwa selama 30 tahun terakhir, pembangunan sektor pendidikan di Kalimantan Barat masih kurang mendapat perhatian serius. Namun, dalam lima tahun terakhir, masyarakat Kalbar mulai melihat adanya kemajuan signifikan pada capaian IPM, terutama pada aspek pendidikan, sebagai hasil dari berbagai upaya peningkatan fasilitas dan akses belajar yang sudah saya lakukan,” tambahnya.
Ia melanjutkan, IPM Kalbar terus menunjukkan tren peningkatan positif selama lima tahun terakhir, meskipun lajunya berfluktuasi. Pada 2020, IPM Kalbar berada di angka 68,76, termasuk dalam kategori tinggi tetapi masih mendekati batas bawah.
Kemudian pada 2021, IPM naik menjadi 68,99 dengan pertumbuhan 0,33%, yang menunjukkan adanya perbaikan meskipun kenaikannya relatif kecil. Kenaikan yang lebih signifikan terjadi pada 2022, ketika IPM mencapai 69,71 dengan pertumbuhan 1,04%, menandakan pemulihan lebih cepat dari dampak pandemi Covid-19.
“Laju pertumbuhan semakin menguat pada 2023, mencapai 1,09%, sehingga IPM naik ke 70,47. Pertumbuhan ini menjadi yang tertinggi dalam periode 2020 – 2024, menandakan adanya peningkatan signifikan dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi,” katanya.
Lanjut pada 2024, IPM Kalbar meningkat lagi menjadi 71,19, dengan pertumbuhan 1,02%. Meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 2023, capaian ini tetap lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan 2020 – 2023 (0,82%). Peningkatan ini juga menegaskan bahwa Kalbar berhasil mempertahankan tren positif setelah pemulihan ekonomi dan pendidikan pasca pandemi.
“Secara keseluruhan, selama periode 2020 – 2024, IPM Kalimantan Barat mengalami kenaikan 2,43 poin, dari 68,76 menjadi 71,19. Meski sudah berada di kategori tinggi, Kalbar masih memiliki ruang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan—khususnya rata-rata lama sekolah (7,78 tahun)—serta memperkuat sektor ekonomi agar dapat bersaing dengan provinsi lain yang memiliki IPM lebih tinggi,” ujarnya.
Hibah Mujahidin
Seperti disinggung sebelumnya, hibah yang diberikan Sutarmidji sebagai upaya dari Pemprov Kalbar untuk mencoba menambah daya tampung di SMA/SMK negeri, tetapi faktanya ada sekolah yang sudah maksimal rombongan belajarnya: SMA maksimal 36 kelas, SMK maksimal 72 kelas.
Sekalipun lahannya ada, penambahan itu kata Sutarmidji tidak boleh dilakukan jika jumlah kelas sudah maksimal. Ada juga sekolah yang belum maksimal, tetapi lahannya sudah tidak tersedia.
“Kemudian saya berpikir, sebagai gubernur saya mempunyai tugas menyediakan fasilitas publik atau fasilitas dasar, dan pendidikan menjadi (program) prioritas saya. Perlu diketahui, selama lima tahun menjabat, ada 46 SMA/SMK baru yang dibangun di Kalimantan Barat dan 23 SMA/SMK yang dibangun untuk menambah ruang kelas,” katanya.
Karena banyaknya anak putus sekolah, Pemprov Kalbar kala itu mencoba pendekatan dengan “me-negeri-kan” sekolah swasta yang lemah, salah satunya mengusulkan SMA Santun Untan sebagai Lab School (sekarang ada program Sekolah Garuda).
“Namun surat kepada rektor tidak pernah dibalas. Akhirnya saya melihat SMA Mujahidin masih memungkinkan untuk ditambah rombongan belajarnya dan letaknya sangat strategis, mudah dijangkau oleh anak-anak Pontianak dan Kubu Raya,” ujarnya.
Namun kemudian, sempat Timbul pertanyaan bahwa sekolah swasta tidak boleh diberikan hibah bangunan untuk sekolah tersebut.
“Saya jawab, betul itu sekolah swasta, tetapi siapa bilang tidak boleh memberi hibah? Coba baca Pasal 55 Ayat (4) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang jelas-jelas membolehkan. Bahkan dari APBN juga ada DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk menambah ruang kelas sekolah swasta,” katanya.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa tugas kepala daerah adalah menyediakan fasilitas publik, yang salah satunya pendidikan.
“Selain itu, harus dipahami, seorang kepala daerah melekat kewenangan diskresi, yaitu untuk melakukan sesuatu yang mendesak untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, mencegah putus sekolah termasuk kepentingan umum yang mendesak,” urainya.
Di samping itu, terdapat pertimbangan lain untuk membantu menambah daya tampung SMA Mujahidin, yakni adanya Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 802/2014 yang mengatur tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid. Pada Bab II, diatur Tipologi Masjid, di mana pada huruf C dijelaskan:
1. Masjid Raya adalah masjid yang berada di ibu kota provinsi, ditetapkan gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama sebagai Masjid Raya, dan menjadi pusat kegiatan keagamaan tingkat provinsi dengan kriteria antara lain: a. Dibiayai melalui APBD Pemerintah Provinsi dan dana masyarakat.
b. Memiliki fasilitas/bangunan penunjang seperti kantor, bank syariah, toko, aula, hotel/penginapan, poliklinik, dan sekolah/kampus.
Sebagai pusat kegiatan keagamaan tingkat provinsi saat itu, kawasan Masjid Raya Mujahidin terlihat agak kurang tertata, terutama di area sekolah. Lalu Sutarmidji berpikir, mengapa tidak sekalian ditata saja melalui hibah, sehingga bisa terpenuhi sebagian fasilitas penunjang seperti bank syariah, toko, dan sekolah percontohan.
Maka dari itu, ia memutuskan untuk memberi hibah menambah daya tampung di SMA Mujahidin dengan tujuan:
- SMA Mujahidin berkualitas.
- Adanya fasilitas penunjang Masjid Raya seperti bank syariah dan toko.
- Tertatanya kawasan Masjid Raya sebagai pusat kegiatan keagamaan tingkat provinsi.
- Adanya pendapatan Yayasan Mujahidin dari penyewaan ruko guna pemeliharaan dan perawatan kawasan Mujahidin.
Tanda Tanya yang Muncul
Lebih lanjut, Sutarmidji menjelaskan, kalau kebijakannya ini banyak memunculkan pertanyaan dari berbagai kalangan, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH). Seperti “mengapa hibah diberikan ke Yayasan Mujahidin, bukan ke Masjid Mujahidin?”.
“Perlu saya jelaskan, Dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, diatur bahwa penerima hibah harus terdaftar atau berbadan hukum. Badan hukum yang mengelola dan menaungi Masjid Raya Mujahidin adalah Yayasan Mujahidin,” jelasnya.
Selanjutnya timbul lagi pertanyaan, “mengapa hibah untuk Masjid Mujahidin digunakan untuk membangun sekolah?”. Sutarmidji menjelaskan, bahwa di dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) selalu dirinci dijelaskan berapa untuk operasional masjid dan berapa untuk sekolah.
“Sebenarnya, dalam NPHD tidak perlu juga dirinci karena antara Masjid Mujahidin sebagai Masjid Raya dan sekolah tidak ada masalah, sebab keduanya satu kesatuan. Sekolah adalah bangunan penunjang Masjid Raya. Kenapa diatur begini? Tanyakan pada Kementerian Agama. Jangan hanya pandai membuat aturan, tetapi ketika aturan yang dipedomani dianggap ‘salah’, mereka diam. Jika Pemerintah Provinsi dianggap salah memedomani, yang paling bertanggung jawab adalah Kementerian Agama sebagai pembuat aturan,” paparnya.
Tak berhenti sampai di situ, salah satu pertanyaan yang juga timbul, ialah “mengapa hibah tersebut dilakukan secara terus-menerus?”.
“Saya perlu jelaskan, dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 diatur bahwa hibah tidak boleh terus-menerus tiap tahun anggaran, ‘kecuali’ ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, hibah terus-menerus harus memberi manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan,” sampainya.
Dalam hal hibah ke Yayasan Mujahidin untuk membangun sekolah, menurut Sutarmidji, jelas sangat bermanfaat, antara lain tersedianya fasilitas pendidikan untuk pembangunan SDM.
“Selain itu, 3.000 meter lahan Mujahidin digunakan—jika Pemerintah Provinsi harus membeli, nilainya bisa sekitar Rp 150 miliar,” katanya.
Berikan Kuasa Khusus untuk Kajati
Jika ditelaah dari aspek hukum pidana, Sutarmidji pastikan, tidak terdapat niat jahat dari pemberian hibah tersebut. Ia mengklaim tidak ada satu rupiah pun dana hibah itu dipotong.
“Bahkan saya memberi surat kuasa khusus kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat untuk mengambil semua aset saya jika ditemukan adanya aliran dana hibah ke saya, istri, anak, atau menantu,” jelasnya.
“Saya bertanggung jawab dunia akhirat, bahwa niat dan pertimbangan hibah adalah untuk menyediakan ruang atau daya tampung tamatan SMP dan penataan kawasan Masjid Raya Mujahidin,” tegas Sutarmidji menambahkan.
Ia juga menjelaskan bagaimana hibah kemudian disalurkan. Setelah berbicara dengan pihak Yayasan Mujahidin bahwa Pemprov Kalbar berniat menambah daya tampung SMA Mujahidin, pihak yayasan lalu diminta mengajukan proposal. Proposal yang diajukan berisi rencana anggaran belanja sebesar Rp 39,9 miliar.
Pembangunan dengan hibah ini dimulai pada tahun 2020 dan selesai 2022 dengan total nilai hibah Rp 22,04 miliar untuk total luas bangunan 5.785,31 m², atau rata-rata biaya pembangunan hanya Rp 3,81 juta/m², jauh di bawah harga satuan bangunan untuk Kota Pontianak tahun 2018 yang sebesar Rp 6,38 juta/m².
“Bahkan, jika merujuk ketetapan wali kota untuk tahun 2021, harga satuan adalah Rp 6,89 juta/m². Dana hibah ini sudah mendapat persetujuan DPRD Kalbar melalui perda APBD dan penjabarannya dalam pergub,” jelasnya.
Sutarmidji juga menyinggung, bahwa antara tahun 2018 hingga 2023, terdapat beberapa lembaga atau badan keagamaan pula yang mendapat bantuan berupa hibah berturut-turut, seperti MUI, Katedral Santo Yosef, LPTQ, Matakin, Walubi, dan lain-lain.
“Namun anehnya, hanya hibah kepada Mujahidin yang dipermasalahkan. Jika pemberian hibah itu semua salah karena berturut-turut setiap tahun, untuk keadilan, periksa semuanya (lembaga-lembaga itu, red) agar tidak ada kecurigaan adanya hal-hal yang melatarbelakanginya. Ini penting dijelaskan ke publik, karena Masjid Raya Mujahidin adalah marwah umat Islam Kalimantan Barat,” tuturnya.
“Jangan Paksa Saya”
Sutarmidji menilai, bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh APH terkait kebijakan hibah kepada Yayasan Mujahidin ini sangat janggal. Menurutnya, pemeriksaan hanya dapat dilakukan jika unsur-unsur—seperti dugaan terjadinya korupsi dan lainnya—sudah terpenuhi.
“Saya tahu semua, dan jangan paksa saya untuk berbicara semua, karena menyangkut personal dan institusi. Harus diuji apakah semua unsur korupsi terpenuhi dalam masalah ini. Jika dikatakan melanggar aturan, aturan mana yang dilanggar? Jika dikatakan menguntungkan diri sendiri, buktikan apakah ada uang yang mengalir kepada pemberi hibah. Menguntungkan orang lain? Buktikan jika ada niat jahat untuk mendapatkan keuntungan. Jangan sampai upah kerja dianggap korupsi. Apakah Yayasan itu korporasi? Kerugian negaranya di mana?” beber Sutarmidji.
Sebaliknya, Sutarmidji menegaskan kalau bangunan SMA Mujahidin itu digunakan untuk kepentingan masyarakat. Yayasan yang menaunginya pun bukan badan hukum pribadi dan tidak memiliki anggota, sehingga sebetulnya sekolah Yayasan Mujahidin itu bermanfaat untuk menunjang program pemerintah. Pengurus yayasan tidak digaji.
“Apakah upah untuk jasa atau pekerjaan dalam proses pembangunan SMA Mujahidin yang dibayar dari dana hibah masuk kategori menguntungkan orang lain atau diri sendiri? BPK setiap tahun mengaudit APBD, dan semua SPJ tentang hibah ke Yayasan Mujahidin, dan hampir tidak ada temuan yang mengarah pada penyimpangan,” jelasnya.
Kesimpulan
Sutarmidji kembali menekankan, hibah yang diberikan kepada Yayasan Mujahidin karena yayasan tersebut mengelola Masjid Raya. Berdasarkan SK Dirjen Bimas Islam Nomor 802/2014, Masjid Raya dibiayai APBD provinsi dan harus memiliki bangunan penunjang seperti kantor, toko, bank syariah, dan sekolah.
Kedua, kondisi bangunan sekolah di bawah Yayasan Mujahidin saat itu kurang layak untuk proses belajar mengajar. SMP dan SMA bergantian menggunakan ruang belajar, sehingga jam belajar dikurangi.
“Terkadang SMA masuk siang dan pulang saat magrib. Karena proses belajar mengajar tidak baik dari sisi kualitas, perlu pembenahan. Selain itu, langkah ini menambah daya tampung tamatan SMP di Pontianak dan Kubu Raya, yang setiap tahun ada 4.500 tamatan SMP yang tidak tertampung di SMA/SMK,” katanya.
Atas dasar itu, Pemprov Kalbar lalu bersepakat dengan Yayasan Mujahidin untuk mengembangkan SDM bidang pendidikan dengan membenahi Lembaga Pendidikan Mujahidin. Melalui hibah, dibangunlah 24 ruang belajar baru, toko, dan bank syariah sebagai fasilitas penunjang Masjid Raya.
Dengan penambahan tersebut, SMP Mujahidin tidak lagi mengurangi jam belajar, SMA Mujahidin bertambah daya tampung menjadi 24 kelas, fasilitas masjid raya bertambah, dan kawasan masjid raya tertata rapi.
“Jika berbicara tentang jumlah hibah untuk sekolah, proposal atau rencana anggaran biaya senilai Rp 39,9 miliar. Harga satuan bangunan berdasarkan SK Wali Kota tahun 2018 sekitar Rp 6,38 juta/m², sedangkan bangunan SMA Mujahidin hanya Rp 22,04 miliar atau Rp 3,8 juta/m², sangat efisien dan sudah mengantongi sertifikat kelayakan bangunan,” katanya.
Dalam prosesnya, yayasan juga telah meminta tenaga ahli dari Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (Intakindo) untuk memeriksa dan menghitung nilai fisik bangunan, dan hasilnya nilai bangunan berada di atas nilai hibah.
“Namun, kita tetap harus menghormati proses hukum. Ingat adagium hukum: ‘Lebih baik membebaskan seribu orang penjahat daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah’. Ingat, karma itu nyata—’Siapa menabur angin, dia menuai badai,” cam Sutarmidji.
“In Dubio Pro Reo, prinsip ini harus digunakan penegak hukum agar institusi dan hukum benar-benar berintegritas dan masyarakat percaya pada hukum dan institusinya. Ingat pula, salah satu tugas pemimpin dan kewajiban negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegasnya.
Fenomena Apriori Masyarakat Terhadap Korupsi
Sutarmidji turut menyoroti fenomena apriori masyarakat terhadap kasus korupsi. Menurutnya, sikap apatis tersebut justru membuat praktik korupsi semakin subur di berbagai sektor.
“Masyarakat jangan takut melaporkan jika ada indikasi korupsi di wilayahnya. Korupsi kerap terjadi karena masyarakat sudah apriori, bahkan ada yang cuek atau merasa tak kuasa. Ini bisa jadi karena lunturnya kepercayaan pada aparat penegak hukum,” ujar Sutarmidji.
Ia juga menegaskan, penegakan hukum semestinya berjalan secara humanis dan berkeadilan. Namun mirisnya, masih terdapat kasus di mana keterlibatan seseorang dalam perkara korupsi sudah jelas didukung fakta persidangan, tetapi aparat penegak hukum justru menutup mata.
“Sebaliknya, ada kasus yang ‘dipaksakan’ meski belum didukung dua alat bukti, hanya karena tujuan tertentu. Misalnya untuk meminta konsesi tambang, jabatan, atau proyek kegiatan. Praktik seperti itu yang merusak kepercayaan publik,” kata Sutarmidji.
Sutarmidji menilai, keberanian masyarakat melaporkan dugaan korupsi, serta konsistensi KPK, kepolisian dan kejaksaan dalam bekerja secara objektif, menjadi kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan publik dalam pemberantasan korupsi. (**)