Kasus Guru Agama Cubit Anak Berlanjut

Korban yang masih berusia 9 tahun memamerkan bekas cubitan sakit, bukan cubitan mesra, dari sang oknum guru agama.
Korban yang masih berusia 9 tahun memamerkan bekas cubitan sakit, bukan cubitan mesra, dari sang oknum guru agama.

SAMARINDA  – Ada kelakar, ikut di pesantren kilat jadinya santri petir.  Maksudnya, santri pesantren kilat cepat dapat ilmu agama karena digelar di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Tapi sepertinya tidak bagi anak ini. Bukannya dapat ilmu agama, ia malah dapat cubitan sakit, sampai membekas pula. Entah benar atau tidak, yang jelas akibat kasus yang terjadi Senin (23/6) ini, dunia pendidikan di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim) heboh.

Meski sebelumnya sempat dimediasi pihak Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) Samarinda Ilir, namun gagal. Mediasi tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak yang berseteru, yakni antara orang tua murid yang dihadiri oleh ibu korban, Rita Ismayani (33) dan oknum guru agama Khotib (32). Selain itu, hadir pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) serta kepala sekolah SDN 026.

Mediasi sempat terlambat pelaksanaanya lantaran Khotib terlambat datang. Hasilnya pun, tidak ditemui perdamaian antar kedua belah pihak. Orang tua murid tetap bersikeras untuk melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum.

“Saya tetap akan lanjutkan ke jalur hukum, karena sejak awal dia (Khotib, red) tidak mengakui perbuatannya kepada kami. Bahkan pihak sekolah mengadukan ke Disdik jika mereka tidak pernah melakukan kekerasan kepada anak saya,” ucap Rita usai mediasi, Kamis (25/6/2015).

Kekesalan Rita tersebut berlanjut dengan memindahkan anaknya atas nama M Rully Nata Amaja (9) ke sekolah lain, karena dia tidak ingin anaknya dikucilkan oleh pihak sekolah jika terus bertahan di sekolah yang terletak di jalan Otto Iskandardinata itu.

“Sekarang anak saya banyak diam, tidak seperti biasanya, anak saya tentu masih trauma. Saya juga akan memindahkan anak saya ke sekolah lainnya, karena saya takut jika tetap bertahan, nilai anak saya akan jeblok karena perlakuan guru di sekolahnya,” terangnya.

Sementara itu, Kepala SDN 026, Matiah (52), enggan dimintai penjelasan perihal kasus yang menjerat anak buahnya itu. Sama halnya dengan Khotib, ketika dimintai keterangan, tersangka sama sekali tidak menghiraukan permintaan wawancara dari media.

Kanit Reskrim Polsekta Samarinda Ilir, Ipda Dedi Setiawan menjelaskan, mediasi yang dilakukan pihaknya tidak membuahkan hasil apapun. Dengan kata lain tidak ada kata damai diantara kedua belah pihak. Bahkan, pihak orang tua murid tetap bersikeras untuk melanjutkan kasus tersebut ke ranah hukum.

“Kasus tetap dilanjutkan. Oknum guru agama telah ditetapkan sebagai tersangka, segera berkasnya akan dilimpahkan ke penyidik,” terangnya.

Kendati telah ditetapkan sebagai tersangka, Khotib lantas tidak langsung masuk ke dalam jeruji besi. Dirinya hanya diwajibkan menjalani wajib lapor setiap hari Senin dan Kamis, hingga vonis hukuman ditetapkan oleh persidangan.

“Sesuai dengan UU Perlindungan anak, dengan ancaman hukuman pidana dibawah 5 tahun, yakni 3 tahun 6 bulan, maka tersangka hanya dikenakan wajib lapor saja,” jelasnya. Dalam kasus ini, Khotib dapat dikenakan pasal tentang perlindungan anak. [] TBK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *