Ketimpangan Meningkat, Kemiskian Pedesaan Masih Tertinggi di Jawa Timur

SURABAYA – Ketimpangan pembangunan dan tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Timur masih menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan. Data terbaru menunjukkan bahwa hingga 2024, kemiskinan di wilayah pedesaan mencapai 13,19 persen atau sekitar 2,30 juta jiwa, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan yang berada pada angka 6,83 persen atau sekitar 1,59 juta jiwa.

Hal tersebut diungkapkan Hasan (nama lengkap tidak disebutkan), dalam pemaparan data ketimpangan sosial ekonomi di Jawa Timur. Menurutnya, disparitas antara desa dan kota menjadi indikator utama yang menunjukkan lemahnya pemerataan pembangunan antardaerah.

“Masalah ketimpangan pembangunan masih menjadi masalah yang belum mampu diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur,” ujarnya, Jumat (16/5/2025).

Lebih lanjut, Hasan mengungkapkan bahwa Indeks Theil – yang mengukur ketimpangan antar wilayah – menunjukkan tren kenaikan. Pada tahun 2024, Indeks Theil Jawa Timur tercatat sebesar 0,3324. Angka ini menunjukkan bahwa ketimpangan antarwilayah di provinsi tersebut justru meningkat, padahal seharusnya mengalami penurunan sebagai cerminan keberhasilan distribusi pembangunan.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerataan belum benar-benar terjadi. Beberapa wilayah berkembang pesat, sementara lainnya tertinggal,” jelas Hasan.

Selain itu, Indeks Gini – yang mencerminkan ketimpangan pendapatan antarindividu – juga mengalami peningkatan dari 0,325 pada Maret menjadi 0,332 pada September 2024. Kenaikan ini mencerminkan bahwa jurang pendapatan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin makin melebar.

“Kenaikan Gini Ratio menandakan bahwa ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat kita memburuk,” kata Hasan.

Para pengamat menilai, Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu meninjau ulang kebijakan fiskal dan distribusi pembangunan yang ada, terutama pada sektor pertanian, infrastruktur pedesaan, dan pendidikan. Tanpa perubahan pendekatan yang menyeluruh, ketimpangan berpotensi terus meluas dan menghambat pertumbuhan ekonomi inklusif.

Sementara itu, berbagai lembaga swadaya masyarakat dan akademisi mendesak pemerintah daerah untuk memperkuat koordinasi lintas sektor serta mempercepat pemerataan akses layanan dasar di kawasan tertinggal. []

Nur Quratul Nabila A

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *