Kritik Publik Dinilai Sebagai Kontrol Sosial Bagi Pejabat

ADVERTORIAL – Dinamika politik dan pemerintahan di era digital semakin terbuka. Kritik publik kini dengan mudah tersalurkan melalui media sosial, bahkan mampu menggiring opini hingga melahirkan aksi massa di berbagai daerah. Fenomena ini menjadi sorotan serius Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Anhar.
Ia menilai, posisi pejabat publik saat ini semakin rentan terhadap pantauan masyarakat. Setiap langkah, ucapan, maupun kebijakan dapat menjadi bahan evaluasi publik. “Kita ini pejabat-pejabat semuanya di tingkatan manapun, di institusi mana pun, kita ini diibaratkan ada di dalam aquarium, semua mata tertuju dengan kita,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Samarinda, Senin (08/09/2025).
Menurut Anhar, kemajuan teknologi informasi membuat ruang gerak pejabat kian terbuka. Transparansi ini tidak bisa dihindari, karena publik dapat dengan mudah mengawasi melalui media sosial. “Tindak tanduk kita pun semua dipantau sekarang,” katanya.
Ia menegaskan, kritik masyarakat hendaknya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat. Kritik, kata dia, berfungsi sebagai kontrol sosial yang dapat membantu pejabat memperbaiki kinerja. “Kalau terjadinya itu introspeksi diri bagi semua termasuk kita di lembaga legislatif ini,” ucapnya.
Lebih jauh, Anhar mengingatkan bahaya sikap arogan dari pejabat publik. Sejarah, menurutnya, telah banyak mencatat pemimpin yang kehilangan kekuasaan akibat gelombang penolakan rakyat. “Saya berkali-kali mengatakan jangan pernah melawan kehendak rakyat, jangan pernah,” tegasnya.
Ia mengaitkan fenomena tersebut dengan pengalaman sejumlah negara, di mana pemimpin tumbang karena kekuatan rakyat. “Cerita sejarah pemimpin di dunia ini, tidak sedikit pemimpin yang jatuh karena gerakan rakyat atau people power,” ungkapnya.
Anhar bahkan menyinggung nama-nama besar yang akhirnya tersingkir dari panggung politik dunia. “Hosni Mubarak jatuh karena gerakan rakyat, Saddam Hussein jatuh karena gerakan rakyat, Soeharto jatuh karena gerakan rakyat, jadi itu sejarah yang tidak boleh dikesampingkan karena itu menjadi pengingat bagi kita semua,” jelasnya.
Ia menekankan, kedaulatan rakyat merupakan fondasi utama demokrasi. Oleh sebab itu, wakil rakyat tidak boleh mengabaikan suara masyarakat. “Kalau rakyat sekarang jangan main-main, kita saling mengingatkan saja jangan main-main dengan rakyat, apalagi cuma wakil rakyat,” ujarnya.
Bagi Anhar, keberadaan DPRD semata-mata lahir dari mandat rakyat. Dengan demikian, setiap keputusan maupun kebijakan legislatif harus benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat. “Sekarang rakyat yang berkehendak rakyat yang berdaulat, kita pun di sini hadir karena rakyat, atas nama rakyat,” katanya.
Ia juga memberikan apresiasi kepada masyarakat yang konsisten menyuarakan kritik melalui ruang digital. Menurutnya, itu adalah tanda bahwa warga masih peduli terhadap jalannya pemerintahan. “Dewan Perwakilan Rakyat kita, sehingga kita yah introspeksi diri semua sekarang ini, saya sih menyambut baik semuanya itu karena mereka mengingatkan kita, menyadarkan kita,” tuturnya.
Mengakhiri keterangannya, Anhar menegaskan bahwa pejabat publik tidak boleh terlena oleh jabatan. Kritik yang datang dari masyarakat harus dijadikan bahan peringatan agar para wakil rakyat tidak lupa pada tanggung jawab utama mereka. “Mungkin juga selama ini kita ada yang lupa diri, ada yang tidak tahu posisi kita selama ini sebagai wakil rakyat,” pungkasnya. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum