Legislatif Soroti Kelalaian Kolektif Kasus Anak

ADVERTORIAL – Minimnya fasilitas dan pengawasan terhadap anak-anak yang dititipkan di panti asuhan kembali menjadi sorotan serius di Kota Samarinda. Kasus kekerasan yang terjadi di salah satu panti asuhan swasta belum lama ini menggugah kepedulian Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda untuk mendorong reformasi sistem perlindungan anak, terutama bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, menegaskan bahwa lemahnya kendali pemerintah terhadap operasional panti-panti asuhan swasta menjadi celah yang berisiko membahayakan anak-anak. Menurutnya, meskipun pemerintah kota memiliki fungsi pembinaan, namun secara struktural tidak memiliki kewenangan penuh atas lembaga-lembaga tersebut. “Selama ini kalau panti-panti itu memang kita hanya bisa membina, karena tentang pembiayaan terus siapa di dalamnya itu adalah wilayahnya mereka, ya,” ujarnya, Senin (28/07/2025), saat diwawancarai di Gedung DPRD Kota Samarinda.

Sri Puji juga menekankan pentingnya melihat latar belakang anak-anak yang menjadi korban dari sisi keluarga. Komisi IV, menurutnya, selalu berupaya memahami konteks sosial dari setiap kasus yang terjadi. “Untuk Komisi IV sendiri saya kira fenomena seperti ini memang kita melihat keadaan orang tuanya seperti apa,” katanya.

Permasalahan menjadi semakin kompleks ketika pemerintah kota tidak memiliki fasilitas khusus untuk anak-anak yang membutuhkan penanganan khusus. Sri Puji menyampaikan bahwa keberadaan panti khusus sangat diperlukan agar anak-anak tersebut tidak bercampur dengan anak-anak lainnya yang memiliki latar belakang berbeda. “Nah, memang seharusnya ini menurut kami ya, seharusnya anak seperti ini ada panti khusus, dan kita nggak punya panti khusus ya untuk anak-anak,” jelasnya.

Namun, ia juga menyoroti bahwa kewenangan untuk mendirikan dan mengelola panti seperti itu berada di tingkat provinsi. Ini menandakan bahwa koordinasi lintas jenjang pemerintahan sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem perlindungan yang menyeluruh. “Karena keberadaan panti kewenangan panti itu ada di provinsi sebenarnya, untuk panti-panti untuk anak-anak yang bener khusus kan ini anak yang istilahnya sudah ada kelainan,” tambahnya.

Lebih jauh, ia melihat bahwa banyak pihak turut andil dalam kegagalan sistem ini. Keluarga, sebagai pihak pertama yang menyerahkan anak, kerap tidak memahami risiko yang akan dihadapi. Di sisi lain, pengelola panti juga tidak selalu melaporkan masalah yang terjadi. “Jadi ini kalau kita tanya ini salah siapa, semuanya salah, dari orang tuanya karena ketidaktahuannya, dari panti yang istilahnya, harusnya panti juga melaporkan ke mana, gitu ya,” tegasnya.

Ia mengkritik lemahnya koordinasi antarpihak yang akhirnya menimbulkan kesan bahwa persoalan ini dibiarkan begitu saja. “Tapi ini kan seakan-akan ya, dibiarkan gitu aja karena tadi pihak orang tuanya ini memasrahkan, gitu,” sambungnya.

Melihat kondisi tersebut, Komisi IV mendorong pemerintah kota dan provinsi untuk mengambil langkah nyata. Bukan hanya menambah fasilitas panti, tetapi juga memastikan pengawasan berjalan efektif serta membangun sistem pelaporan yang responsif untuk kasus-kasus serupa. Upaya ini penting agar hak-hak anak tetap terlindungi, terutama ketika mereka tidak lagi berada dalam asuhan keluarga. []

Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *