Meriahkan Kemerdekaan, Simbol Fiksi Jadi Sorotan

ADVERTORIAL – Menjelang Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, suasana semarak mulai terasa di berbagai penjuru negeri. Di Kota Samarinda, antusiasme warga terlihat dari berbagai bentuk pernak-pernik yang dipasang untuk memeriahkan peringatan tersebut. Namun, salah satu simbol yang mencuri perhatian publik adalah bendera Jolly Roger, ikon dari serial anime populer One Piece, yang tiba-tiba ramai dipasang di beberapa lokasi.
Fenomena ini pun memicu pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menilainya sekadar hiburan, namun tidak sedikit pula yang khawatir akan munculnya simbol tandingan terhadap nilai kebangsaan. Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Samri Shaputra, menyerukan sikap bijak dan proporsional dalam melihat fenomena semacam ini.
“Mengizinkan dari sisi pandangan untuk hanya sekadar hiburan, hanya sekadar rame-rame, sah-sah saja, tapi kalau itu dianggap sebagai ideologis, ini berbahaya,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Samarinda, Rabu (05/08/2025) sore.
Pernyataan ini mencerminkan sikap lembaga legislatif yang tidak menutup ruang ekspresi warga, selama hal tersebut tidak membawa muatan politis maupun ideologis yang bertentangan dengan nilai-nilai persatuan bangsa.
Lebih lanjut, Samri menjelaskan bahwa pemasangan bendera non-negara seperti Jolly Roger sejatinya tidak berbeda jauh dari pemasangan bendera komunitas, organisasi, atau bahkan partai politik yang sudah jamak dilakukan masyarakat dalam berbagai kegiatan. “Jadi, apa bedanya kita misalnya memasang bendera Persisam, Partai dan sebagainya, kan sama itu,” katanya.
Namun, ia juga menggarisbawahi bahwa pemilihan waktu sangat memengaruhi persepsi publik. Menurutnya, suasana menjelang Hari Kemerdekaan adalah momen sakral yang membawa makna historis dan emosional bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran simbol asing di ruang publik bisa menimbulkan penafsiran keliru, bahkan memicu anggapan adanya “bendera tandingan.”
“Cuma mungkin ini kenapa jadi fenomenal, karena dipasang dalam keadaan kita lagi sedang mau merayakan hari kemerdekaan, bukan sebelum-sebelumnya,” ucapnya.
Ia berharap, masyarakat bisa memilah dan memahami konteks dengan tepat. Menurutnya, bendera fiksi seperti Jolly Roger tidak seharusnya dianggap sebagai simbol perlawanan, selama memang niatnya hanya untuk meramaikan suasana.
“Jadi, seolah-olah ada bendera saingan gitu, tapi mudah-mudahan motifnya ini hanya sekedar ikut meramaikan, tidak beda dengan umbul-umbul yang ada dipasang sekarang, umbul-umbul kan ada bendera warna-warni,” ujarnya.
Samri juga menekankan pentingnya niat positif dari pihak-pihak yang memasang bendera tersebut. Jika tujuannya adalah murni untuk hiburan dan partisipasi masyarakat dalam menyemarakkan kemerdekaan, maka hal itu tidak perlu dibesar-besarkan.
“Kemudian harapan kita mereka yang pasang itu niatnya begitu, bukan ada niat, mungkin simbol perlawanan, simbol kekecewaan atau lain, tapi hanya sekedar ikut meramaikanlah,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa berbagai paguyuban dan komunitas juga bisa turut serta memeriahkan kemerdekaan dengan memasang simbol khas masing-masing, asalkan tetap menjunjung nilai toleransi dan kebangsaan.
“Nah, silakan semua nanti masing-masing pasang bendera dari paguyuban masing-masing, KKS, IKA PAKARTI, ada kerukunan timur dan sebagainya, Toraja, silakan,” katanya.
Menutup pernyataannya, Samri menegaskan bahwa DPRD Kota Samarinda selaras dengan sikap Presiden RI Prabowo Subianto, yang juga tidak mempermasalahkan pemasangan simbol tersebut selama tidak merusak makna perayaan.
“Kalau presiden tidak mempermasalahkan, kan berarti kita DPRD juga sama kalau ikut meramaikan, kita juga mau nanti kita pasang juga semua lambang-lambang partai, DPR kan,” pungkasnya.
Dari sudut pandang ini, bisa dilihat bahwa DPRD Kota Samarinda lebih menekankan pada intensi, bukan semata simbol. Suasana kemerdekaan memang identik dengan ekspresi semangat rakyat, namun tetap perlu dibingkai dalam semangat kebangsaan dan persatuan. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum