Pendidikan Gratis 9 Tahun, Pemerintah Didorong Adil pada Swasta

ADVERTORIAL – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menginstruksikan pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar selama sembilan tahun menjadi titik balik penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Putusan tersebut keluar setelah sebagian gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikabulkan MK pada Selasa (27/5/2025), menyusul pengajuan gugatan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Menanggapi hal ini, anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Damayanti, menekankan bahwa pemerintah pusat harus segera menindaklanjuti putusan MK secara menyeluruh, tidak setengah-setengah. Ia mengingatkan bahwa sejak lama program wajib belajar sembilan tahun telah dicanangkan secara nasional dan bahkan didukung oleh ketentuan alokasi 20 persen anggaran pendidikan dari APBN.
“Pemerintah harus hadir, jangan sampai putusan MK diabaikan. Sudah seharusnya menjadi kewajiban negara untuk menjamin pendidikan 9 tahun bagi anak-anak secara gratis,” ujar Damayanti kepada wartawan saat ditemui di Samarinda, Selasa (03/06/2025).
Lebih jauh, Damayanti mengingatkan bahwa kebijakan ini tak boleh terbatas hanya pada sekolah negeri. Kapasitas sekolah negeri yang terbatas justru membuat sebagian anak terpaksa masuk ke sekolah swasta, yang selama ini masih membebankan biaya pendidikan. Jika tidak diantisipasi, hal itu bisa menyebabkan ketimpangan hak antara siswa di sekolah negeri dan swasta.
“Pemerintah tidak boleh hanya menggratiskan sekolah negeri saja. Jumlah daya tampungnya terbatas. Jika anak-anak yang tidak diterima di negeri lalu masuk swasta dan harus bayar, artinya hak mereka untuk sekolah gratis terabaikan,” tegasnya.
Menurut Damayanti, sudah saatnya pemerintah memperlakukan sekolah negeri dan swasta secara adil dalam konteks program wajib belajar. Ia juga mendorong agar kualitas sekolah negeri ditingkatkan agar tidak tertinggal dari sekolah swasta yang kini justru menjadi pilihan utama banyak orang tua meski biayanya tinggi. “Bagaimanapun tidak boleh ada pengotakan. Ini harus menjadi introspeksi pemerintah, kenapa sekolah swasta justru jadi idaman. Harusnya sekolah negeri juga bisa berkualitas sama, bahkan lebih baik,” katanya.
Ia pun menyoroti pentingnya peningkatan mutu, fasilitas, dan sumber daya manusia di sekolah negeri agar benar-benar bisa memenuhi harapan masyarakat, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan akses pendidikan. Pemerintah, katanya, tak hanya dituntut menjalankan putusan MK, tetapi juga memastikan implementasinya merata dan berkualitas.
Damayanti juga menyebut bahwa beberapa daerah, seperti Samarinda dan Balikpapan, sudah menjalankan kebijakan sekolah gratis untuk SD dan SMP. Bahkan, di Balikpapan, pemerintah setempat turut memberikan seragam sekolah secara gratis sebagai bentuk dukungan terhadap pendidikan dasar yang inklusif. “Kalau kita lihat di Samarinda dan Balikpapan, sebenarnya program sekolah gratis sudah berjalan. Malah di Balikpapan, seragam sekolah pun digratiskan,” tutur legislator dari daerah pemilihan Balikpapan itu.
Ia berharap kebijakan serupa bisa diterapkan secara nasional pada 2026 sesuai dengan putusan MK. Hal ini diyakini akan memperkuat sistem pendidikan dan memberikan akses yang adil bagi seluruh anak Indonesia, tanpa terkecuali. “Mudah-mudahan segera dilaksanakan. Jangan sampai ada anak Indonesia yang tidak bisa sekolah karena alasan biaya, padahal itu hak mereka,” tutupnya.
Putusan MK ini kini menjadi tantangan nyata bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membuktikan komitmen dalam memenuhi hak dasar warga negara. Pendidikan gratis sembilan tahun bukan hanya amanat konstitusi, tetapi investasi masa depan bangsa. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum