Pernikahan Anak di Lombok Tuai Sorotan, LPA Mataram Tempuh Jalur Hukum

LOMBOK TENGAH – Prosesi pernikahan dua remaja di bawah umur di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), menuai sorotan luas masyarakat. Pasangan berinisial Y (15) dan R (16) menjadi perbincangan publik setelah video pernikahan mereka, yang berlangsung secara adat Sasak, beredar luas di media sosial.
Acara pernikahan tersebut memperlihatkan kedua mempelai mengenakan pakaian adat pengantin, diiringi musik tradisional. Namun, momen menjadi kontroversial saat mempelai perempuan tampak menunjukkan ekspresi emosional dan meninggalkan pelaminan ketika sesi pemotretan berlangsung.
Menanggapi beragam pemberitaan yang menyebut Y mengalami gangguan kejiwaan, pihak keluarga melalui paman Y, berinisial AG, memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa keponakannya tidak mengalami gangguan jiwa, melainkan hanya menunjukkan ekspresi emosi khas anak di bawah umur.
“Saya membantah bahwa keponakan saya mengalami gangguan kejiwaan. Dia hanya menunjukkan ekspresi psikologis sebagai anak yang belum dewasa,” ujar AG.
AG juga menjelaskan bahwa Y baru saja menyelesaikan pendidikan dasar dan baru masuk ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP) sebelum memutuskan menikah.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, menanggapi serius peristiwa tersebut. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan melaporkan kasus ini kepada aparat penegak hukum karena dinilai melanggar hak anak.
“Pernikahan anak bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pelanggaran hak dasar anak. Kami akan mengambil langkah hukum terhadap orang tua dan pihak-pihak yang membiarkan pernikahan ini terjadi,” ujar Joko, Sabtu (24/5/2025).
LPA menyoroti praktik yang disebut sebagai “kawin culik”, yang sebelumnya sempat terjadi antara pasangan ini dan pernah mendapat upaya pemisahan dari pihak keluarga.
Joko menekankan pentingnya peran aktif pemerintah daerah dan tokoh adat untuk mengedukasi masyarakat agar tidak melanggengkan praktik pernikahan anak. Ia menyatakan, jika dibiarkan, peristiwa ini dapat menjadi preseden buruk dan memicu kasus serupa di masa mendatang.
“Atas nama kemanusiaan, kami harus bertindak. Tidak boleh ada pembiaran. Anak-anak harus dilindungi agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai usianya,” tegasnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Pernikahan di bawah usia tersebut hanya dapat dilakukan melalui dispensasi pengadilan, yang pada kasus ini belum diketahui keberadaannya.
LPA Mataram menyerukan kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat perlindungan anak dan menekan angka perkawinan dini di NTB, salah satu provinsi dengan angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia. []
Nur Quratul Nabila A