Praktik Rasuah di Proyek Jalan Teratak
Tak habis-habisnya terkuak kasus penyimpangan di Kukar. Yang terbaru proyek jalan Teratak-Muara Kaman senilai Rp 29,7 miliar. Duit diembat, proyek mandek, kontraktornya kabur.
DALAM sebuah rapat koordinasi (rakor) evaluasi pembangunan yang dihadiri kepala daerah se Kalimantan Timur (Kaltim), akhir 2012 silam, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari memaparkan program prioritas pemerintahannya, yakni infrastruktur.
“Jadi jika ditanya apa target utama pembangunan kami, saya akan menjawab pertama adalah infrastruktur, yang kedua infrastruktur, dan ketiga infrastruktur,” ujarnya di hadapan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak.
Di antara program infrastruktur yang menjadi perhatian Rita adalah pembangunan akses jalan. Ia bermimpi, pada 2014 ini sudah terbangun mulus sejumlah akses penghubung antar kecamatan se-Kukar, juga penghubung antara Kukar dengan daerah lain.
Sayangnya, program pembangunan jalan yang dilaksanakan banyak yang tak berwujud. Salah satu proyek yang disebut Rita saat rakor itu dan belum selesai adalah pembangunan jalan dari Desa Teratak menuju pusat Kecamatan Muara Kaman.
Mulanya, jalan sepanjang 13 kilometer tersebut direncakan selesai 2013 dan dibangun 2011 lalu. Tapi bukanya selesai, proyek tersebut justru bermasalah. Kontraktornya diketahui sudah mencairkan sebagian besar uang proyek, hanya sebagian kecil item proyek yang dikerjakan. Setelah itu, kontraktor lokal ini kabur.
Pada 9 Oktober 2011 silam, Layanan Pengadaan Sistem Elektronik (LPSE) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar membuka tender Pembangunan Jalan Teratak – Muara Kaman dengan nilai pagu dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) paket senilai Rp 34 miliar lebih.
Pada 17 November 2011, PT Bhima Hasta, perusahaan yang berdomisili di Jalan M. Said Nomor 33 RT 11, Samarinda, ditetapkan sebagai pemenang lelang. Perusahaan pemegang Nomor Pokok Wajib Pajak 02.594.824.1-722.000 itu berhasil mengalahkan 47 perusahaan lain yang turut dalam lelang online itu dengan nilai penawaran Rp 29,79 miliar lebih.
Pekerjaan pembangunan jalan oleh PT Bhima Hasta dimulai sejak ditandatangani kontrak kerja pada 9 Desember 2011. Namun hingga 2014 ini, proyek tersebut tak kunjung selesai. Belakangan tersiar kabar bahwa kontraktor kabur. Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (BMSDA) Kukar pun memasukkan perusahaan itu ke dalam daftar hitam (blacklist).
Kepada wartawan, Kepala Dinas BMSDA Kukar Ahyani Fadianur melalui Kepala Seksi (Kasi) Pembangunan dan Peningkatan Jalan Budi Harsono membenarkan hal tersebut. Menurutnya, PT Bhima Hasta memang di-blacklist dan tidak boleh mendapat proyek selama dua tahun ke depan.
Hanya saja, ia membantah jika PT Bhima Hasta tidak mengerjakan proyek jalan tersebut. “Mereka itu mengerjakan, namun tidak sesuai progres. Karena itu diblacklist selama dua tahun,” aku Budi Harsono.
Disinggung soal denda, Budi mengaku tidak mengetahui secara persis berapa nilainya. Namun, katanya, PT Bhima Hasta harus mengembalikan uang muka dan mencairkan jaminan pe-laksananya.
Menurut sumber lain di DPRD Kukar, disebutkan bahwa uang muka dan jaminan pelaksanaan yang harus dikembalikan kontraktor disebut-sebut mencapai Rp 20 miliar. Kontraktor seperti PT Bhima Hasta disebut tidak boleh mendapat proyek lagi di Kukar, karena hanya mengecewakan masyarakat yang sangat menginginkan proyek pembangunan dan pelebaran jalan tersebut bisa terlaksana.
Sementara Dedi Irawan, aktivis anti korupsi dari Lembaga Investigasi dan Pemberantasan Praktik Rasuah (LIBAS) GP Ansor Kukar, menuding pihak BMSDA Kukar tidak serius dalam melakukan pengawasan proyek.
“Perkara seperti ini, ada tiga hal yang patut diperhatikan. Proses lelangnya, pengawasannya dan sanksinya,” kata Dedi Irawan kepada Eksekutor, baru-baru ini.
Untuk masalah lelang paket pekerjaan jalan Teratak-Muara Kaman, ada 47 perusahaan yang ikut serta dan sebagian besar gugur dalam seleksi kualifikasi. Hanya tiga perusahaan yang lolos.
“Jika melihat kuantitas peserta lelang, pemenang tender mestinya adalah yang terbaik dari yang terbaik. Tapi mengapa kerjanya tidak benar? Pasti ada yang tidak beres dengan proses lelangnya,” kata Dedi.
Lelang proyek sekarang ini, kata Yudi, meskipun dilaksanakan secara online, intriknya makin kencang. Yang penting punya modal setoran besar di muka, sudah pasti menang. “Saya sering dapat laporan, kontraktor diminta uang hingga 20 persen kalau mau menang. Kalau tidak mau, ya digugurkan, alasan kesalahan dicari-cari,” ungkap Dedi.
Jika kontraktor sudah berani bayar setoran uang di muka kepada oknum panitia proyek atau lainnya, maka keuntungan kontraktor sudah pasti berkurang. “Saya menduga, PT Bhima Hasta ini kabur setelah mencairkan sebagian uang proyek. Karena setelah dihitung-hitung tidak untung, kontraktornya memilih kabur. Bagaimana mau untung kalau sejak awal sudah harus setoran besar-besaran?” papar Dedi.
Persoalan kedua, lanjut dia, adalah pengawasan. Sebenarnya banyak pihak yang bisa turut melakukan pengawasan, tetapi yang faham betul dengan proyek tersebut adalah konsultan pengawasnya, yakni PT Wastu Anopama dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).
“Ini pasti akibat pengawasannya yang setengah hati, terutama dari pihak Bina Marga. Yang banyak terjadi kan, pejabatnya mau negur keras malu atau tidak enak, karena sejak awal sudah nerima duit banyak dari kontraktornya,” kata Dedi.
Terakhir persoalan sanksi, menurut dia, pihak BMSDA juga tak terlihat serius dalam memberikan sanksi. “Katanya diblacklist, tapi sampai sekarang (akhir Juli, red), PT Bhima Hasta tidak muncul di daftar hitam portal LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, red),” ungkap Dedi.
Pihak BMSDA, lanjut dia, seharusnya melaporkan PT Bhima Hasta ke LKPP. Dengan begitu kontraktor bisa masuk daftar hitam. “Ini kan tidak, sepertinya cuma dimasukkan ke daftar hitam laci meja Bina Marga,” tandas Dedi.
Agar permasalahan seperti itu tak terulang, lanjut dia, mestinya pemerintah membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. “Jangankan ke ranah hukum, untuk serius menagih uang muka, jaminan pelaksanaan dan dendanya saja terlihat ogah-ogahan,” kata Dedi.
Kasus proyek jalan Teratak ini sebenarnya sudah masuk ke ranah tindak pidana korupsi, karena jelas merugikan keuangan negara. “Bukan saja kontraktor ini yang bakal kena, tetapi juga pejabat terkait yang bertanggung jawab,” pungkasnya. []