PT HHK Minta Adanya Kepastian Hukum
PONTIANAK – Jumat, (10/7/2015) lalu, kantor milik PT Harapan Hibrida Kalbar (HHK) Timur yang berlokasi di Desa Seguling, Lipat Gunting Estate Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) habis dibakar ratusan massa. Tak itu saja, Sahmidi, salah seorang karyawan HHK yang punya jabatan, sempat disandra.
Kejadian tersebut sebenarnya bermula dari klaim warga terhadap sebagian lahan yang menjadi Hak Guna Usaha (HGU) PT HHK. Warga menilai, lahan mereka dicaplok untuk perkebunan kelapa sawit tanpa adanya ganti rugi. Klaim berbuntut pada pengambilan tandan buah segar kelapa sawit di areal perkebunan HHK oleh sejumlah warga. Oleh pihak perusahaan, peristiwa itupun dilaporkan ke pihak berwajib dan dilakukan pengusutan. Sementara banyak warga lainnya yang tak terima atas pelaporan pencurian tersebut lalu melakukan demonstrasi ke kantor perusahaan dan berujung pada pembakaran.
Menurut kaca mata Rivai Kusumanegara, penasehat hukum PT HHK, di Pontianak, belum lama ini (4/9), peristiwa itu seharusnya tidak terjadi dan pihak penanam modal, diberikan kepastian hukum. “Karena itu, pemerintah pusat dan daerah seharusnya memberikan kepastian bagi investasi kelapa sawit,” kata Rivai Kusumanegara kepada awak media.
Kepastian investasi itu, lanjut advokat PT HHK ini, di antaranya bisa dicapai jika ada penegakan hukum. Dengan begitu, perusahaan kebun sawit yang memiliki legalitas bisa menjalankan usahanya dengan nyaman dan aman. Hal itu disampaikan Rivai mengingat kliennya, PT HHK, tengah menghadapi masalah terkait ulah oknum masyarakat yang mencuri kelapa sawit hingga membakar kantor perusahaan sekitar dua bulan lalu.
Namun penanganan hukum dari pencurian yang berulang kali terjadi, hingga pembakaran kantor perusaahaan, itu berjalan lambat. “Ini menyebabkan pihak perusahaan tidak bisa menjalankan operasi secara maksimal,” ungkapnya.
Rivai menceritakan, kejadian pembakaran kantor PT HHK yang berlokasi di Kabupaten Ketapang, Kalbar, dipicu oleh adanya laporan pencurian (LP) oleh pihak perusahaan. Sejak akhir 2014 hingga Juli 2015 telah terjadi 13 kali pencurian buah sawit yang dilaporkan pada Kepolisian setempat. “Satu LP telah disidang dan 12 LP masih dalam proses penyidikan,” ungkapnya.
Pada saat dilakukan olah TKP oleh pihak Kepolisian pada 10 Juli 2015, sekelompok oknum warga menyandera Sahmidi, karyawan PT HHK. Mereka memaksa Sahmidi mencabut LP. Namun Sahmidi berhasil lolos dari penyanderaan oknum warga, sehingga warga mengamuk dan melakukan perusakan serta pembakaran kantor HHK.
Menurut Rivai, PT HHK adalah perusahaan yang memiliki badan hukum resmi. Perusahaan yang didirikan pada 18 Pebruari 1982 itu diakuisisi oleh group Union Sampoerna Triputra Persada (USTP) dari PT Kulim asal Malaysia pada Agustus 2007. Sedangkan ijin lokasi dari Ka BPN Ketapang keluar pada 1996, diperkuat dengan Ijin Prinsip Usaha Perkebunan (PPUP) Kelapa Sawit dari Dirjen Perkebunan pada 1998. Sementara Izin Usaha Perkebunan (IUP) dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2000.
Perusahaan memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) seluas 7.286,94 ha di Kabupaten Ketapang, dan menerapkan pola Inti plasma. Dari total luas tersebut, perusahaan telah membangun kebun inti seluas 6.621 ha. Sedangkan untuk kebun plasma telah dibangun seluas 1.812 ha, atau 27 persen dari luas kebun Inti untuk 916 petani plasma. Luasan kebun Plasma itu sudah melebihi luas minimum 20 persen yang disyaratkan Permentan No. 98 tahun 2013.
Rivai menjelaskan, saat PT HHK diambil alih grup USTP, telah dilakukan due diligence dan tidak ada klaim lagi dari warga.
Meski konflik dengan sebagian plasma sebagai ‘warisan’ dari perusahaan sebelumnya sebagian besar telah diselesaikan, namun ada sebagian warga yang terprovokasi oleh hadirnya LSM Padma, yang berkantor pusat di Jakarta. Oknum LSM itu melakukan provokasi ke warga untuk melakukan pencurian besar-besaran kelapa sawit di lahan PT HHK, kata Rivai.
Selain itu, menurut Rivai dasar klain yang diajukan terdapat dokumen-dokumen yang diduga palsu sehingga tidak lolos verifikasi oleh TP3K Pemkab Ketapang. “Klien kami hanya menjalankan keputusan bupati yang mengikat secara hukum. Itulah landasan hukum yang harus dipatuhi,” ujar Rivai.
Rivai berharap, masyarakat tidak terprovokasi oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab. “Jika mengatas namakan HAM, mesti tidak mengorbankan masyarakat. Kalau ada yang tidak puas, seharusnya diselesaikan secara hukum,” tantang Rivai.
Pengamat Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak, Dian Patria, menegaskan bahwa pemerintah, baik pusat dan daerah, harus mempertahankan investor agar betah berinvestasi di Indonesia, dan Kalbar khususnya.
“Jaminan hukum, bagi para investor juga tidak kalah pentingnya dalam memberikan kepastian usaha bagi para investor, sehingga mereka menjadi betah, nyaman dan aman dalam berinvestasi di Kalbar,” ujarnya.
Menanggapi kasus pembakaran berbagai fasilitas kantor PT HHK Timur di Kabupaten Ketapang, beberapa waktu lalu, Dian berharap pihak penegak hukum harus memproses aktor intelektual yang menggerakkan massa. “Kalau dibiarkan berlarut-larut, maka bisa berdampak negatif bagi iklim investasi di Kalbar,” ujarnya. [] RedBB/ANT