Samarinda Butuh Perda yang Lengkap dan Relevan, Bukan Formalitas

ADVERTORIAL – Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda, Iswandi, menegaskan perlunya pembahasan yang matang terhadap rancangan peraturan daerah (raperda) dalam Rapat Paripurna yang digelar Rabu (27/08/2025) malam. Ia menilai setiap aturan yang akan ditetapkan harus sesuai dengan perkembangan zaman agar tidak kehilangan relevansi.
“Sekilas itu masih banyak pasal-pasal yang nanti nggak bisa mengikuti perkembangan zaman,” ujarnya saat ditemui di Kantor DPRD Kota Samarinda.
Menurut Iswandi, sebuah perda seharusnya mampu menjawab kebutuhan masyarakat saat ini sekaligus mengantisipasi tantangan ke depan. Karena itu, ia mendorong agar penyusunan regulasi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh. “Jadi kita mau pembuat perda itu memang bisa mencakup semua aspek,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa apabila perda yang telah disahkan ternyata tidak lengkap atau kurang tepat, maka pemerintah harus segera melakukan revisi. Hal itu penting untuk mencegah timbulnya persoalan hukum maupun kendala administrasi di kemudian hari. “Kalau sudah jadi ternyata ini terlupakan nanti perubahan lagi, bukan ditarik nanti kita perbaiki,” jelasnya.
Iswandi juga menyoroti adanya sejumlah perda yang sifatnya mendesak untuk segera dirampungkan. Menurutnya, percepatan pembahasan sangat dibutuhkan demi kepastian hukum yang lebih jelas bagi masyarakat Samarinda. “Ada beberapa perda memang harus kita selesaikan hari ini, maupun tahun ini,” ujarnya.
Meski demikian, ia mengakui pembahasan raperda saat ini masih bersifat sementara. Beberapa regulasi, katanya, masih harus diperbaiki agar lebih spesifik dan benar-benar menjawab persoalan di lapangan. “Ini sementara, karena memang perlu perbaikan-perbaikan tadi itu, kita tahulah beberapa raperda yang ternyata itu tidak menjawab tantangan pada inti persoalan umum saja, makanya kita mau lebih spesifikan,” terangnya.
Sebagai contoh, Iswandi menyinggung aturan mengenai rumah kos, penginapan, dan hotel melati. Menurutnya, kategori dalam aturan tersebut kerap menimbulkan kebingungan karena belum ada kriteria yang jelas. “Jadi, seperti tadi katanya kos, penginapan, melati ini kriterianya kenapa disebut itu,” ucapnya.
Ia menambahkan, ketidakjelasan penggolongan juga terjadi pada rumah kos dengan jumlah pintu terbatas. Kondisi itu membuat masyarakat tidak mengetahui apakah bangunan tersebut masuk kategori kos atau penginapan. “Kos itu banyak, kalau orang punya cuma dua pintu, apakah itu disebut penginapan atau kos ini,” pungkasnya.[]
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum