Sejarah Desa Naha Aya

Tak jelas berapa usia makam ini. Namun, ini jadi bukti sejarah asal-usul Desa Naha Aya.
Tak jelas mulai kapan makam ini ada. Namun, ini jadi bukti sejarah asal-usul Desa Naha Aya.

BULUNGAN – Sebuah desa di Kecamatan Peso Hilir, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) memiliki sejarah yang terbilang haru sekaligus unik. Nama desa itu Naha Aya, yang ternyata namanya diambil dari seorang perempuan Dayak yang meninggal karena tenggelam di Sungai Kayan.

Wan Luhat, Kepala Adat Desa Naha Aya adalah juru kunci sejarah desa ini. Lelaki berusia sekitar 70 tahun ini mengerti benar asal-usul nama Desa Naha Aya. Ia juga yang berperan menjaga fakta sejarah desa yang terletak di tepi Sungai Kayan ini.

Kamis (4/6/2015), kepada kuli tinta, Wan Luhat membagi cerita soal sejarah Naha Aya. Ia juga menunjukkan pekarangan lahan yang menjadi bukti sejarah penamaan desa tersebut. Dia mengajak ke sebuah makam yang bentuknya terlihat tidak lazim untuk pemakaman manusia pada jaman sekarang ini. Kata Luhat, makam telah ada sebelum desa terbentuk.

Lokasi makam tidaklah jauh dari pintu gapura masuk desa. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan desa yang kondisnya masih bertanah belum beraspal. Jaraknya hanya sekitar satu setengah kilometer. Bagi orang awam yang baru pertama kali datang ke desa itu tentu tidak akan mengetahui lokasi makamnya, sebab warga desa tidak memberi papan informasi akan keberadaan makam itu.
Setiba di tempat makam, suasana lingkunganya masih diselimuti semak belukar. Letak makamnya berada di belakang pemukiman rumah desa, persis di pinggiran Sungai Kayan. Luhat berujar, makam itu ialah tempat bersemayamnya jenazah bernama Aya, seorang perempuan Dayak yang berasal dari daerah Giram atau Peso Hulu. Berdasarkan cerita-cerita orang terdahulu, Aya menjemput ajalnya di Sungai Kayan, meninggal dunia karena tenggelam di sungai.
Jenazah perempuan itu terbawa arus hingga jauh, dan akhirnya ditemukan di daratan pinggiran sungai yang sekarang wilayah ini bernama Desa Naha Aya. Menurut Luhat, istilah Naha sendiri berakar pada bahasa masyarakat lokal yang memiliki makna mengalir menuju pinggiran atau tanggul sungai. Sementara Aya ialah nama orang. “Dahulu disini (Desa Naha Aya) belum ada penduduk. Hanya ada makam Aya saja. Dikenal daerah Naha Aya,” tuturnya.
Bahan material makam kuno itu terbuat dari kayu ulin. Peti mati jenazahnya berbentuk persegi dan tidak dipendam di dalam tanah, tetapi dibuat seperti panggung dengan tonggak atau pondasinya berjumlah lima batang kayu ulin. Saat ini, pondasi kayu tinggal empat buah, yang satunya rubuh akibat faktor alam. Peti jenazah masih terlihat bagus, tidak hancur lebur. Menurut, Luhat di dalam peti itu masih ada sisa jenazah seorang perempuan. “Makamnya tidak bau busuk. Kami yang di sini tidak terganggu bau-bau tidak enak,” ujarnya.
Orang-orang jaman dahulu, belum mengenal formalin seperti manusia modern sekarang. Luhat yakin, leluhurnya kala itu lebih banyak mengandalkan ramuan-ramuan alami yang diambil dari lingkungan tempat tinggalnya. “Saya tidak tahu pakai apa mereka bisa mengawetkan mayat. Yang pasti tidak pakai formalin,” katanya. [] TBK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *