Sengketa Agraria Kian Rumit, DPRD Siaga Netral

SAMARINDA – Upaya warga Kota Samarinda dalam memperjuangkan kepemilikan lahan yang mereka klaim sebagai milik sah kembali mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Kota Samarinda, Rabu (04/06/2025). Sengketa yang telah berlangsung hampir 20 tahun ini menjadi bukti bahwa penyelesaian konflik agraria masih menyisakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
Pertemuan yang dipimpin Komisi III DPRD di ruang rapat gabungan lantai 1 tersebut menghadirkan perwakilan masyarakat, instansi teknis, serta pihak-pihak terkait dengan objek lahan yang disengketakan. Masyarakat menuntut kejelasan status atas tanah yang diklaim telah dibebaskan sejak 2006, namun menurut mereka, belum ada kompensasi yang diberikan.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Samri Shaputra, menjelaskan bahwa permasalahan bermula dari pembebasan lahan atas nama HS yang dilakukan oleh Pemerintah Kota sejak hampir dua dekade lalu. Namun, hingga kini, warga masih menunjukkan bukti kepemilikan berupa sertifikat dan menegaskan belum menerima pembayaran apa pun. “Masalah ini berkaitan dengan lahan milik masyarakat yang sebenarnya sudah dibebaskan oleh pemerintah kota pada tahun 2006 atas nama HS,” Ungkap Samri di hadapan forum.
Situasi menjadi semakin kompleks ketika warga mengklaim kepemilikan sah berdasarkan dokumen resmi, sementara pemerintah mencatat tanah tersebut sebagai aset daerah. “Namun, sengketa di lokasi ini sudah berlangsung hampir 20 tahun karena ada sebagian masyarakat yang mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik mereka dan belum pernah menerima pembayaran,” Jelasnya.
DPRD mengakui bahwa posisi pemerintah kota cukup sulit. Di satu sisi, pembebasan lahan telah tercatat secara administratif. Di sisi lain, klaim warga dengan dokumen sah menghadirkan dilema hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian lebih lanjut. “Pemerintah menghadapi posisi yang sulit, karena tanah yang diklaim tersebut tercatat sudah dibebaskan dan menjadi aset pemerintah daerah,” Lanjut Samri.
Demi menghindari konflik yang lebih besar, DPRD menyarankan masyarakat menempuh jalur hukum. Proses pengadilan dinilai menjadi satu-satunya solusi yang dapat memberikan kepastian hukum secara adil dan sah. “Oleh karena itu, pemerintah menyarankan kepada pihak yang merasa memiliki hak atas lahan dan memiliki sertifikat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan,” Tegas Samri.
Sementara opsi mediasi sempat dibahas, namun tidak dianggap efektif mengingat pemerintah tidak dapat melakukan pembayaran ganti rugi dua kali atas objek yang sama tanpa keputusan hukum yang kuat.
Di akhir rapat, Komisi III DPRD menyatakan komitmennya untuk mengawal proses hukum yang akan ditempuh masyarakat. DPRD juga akan memastikan seluruh pihak menaati prosedur demi menjaga keadilan dan kelangsungan tata kelola aset negara. “DPRD hadir untuk memastikan hak-hak masyarakat dihormati, sekaligus menjaga agar aset pemerintah dikelola secara benar,” Pungkas Samri.
Penulis: Slamet