Sri Puji Soroti Minimnya Fasilitas Kesehatan untuk Pasien Menular

ADVERTORIAL – Kota Samarinda tengah menghadapi tantangan serius dalam penanganan penyakit menular seperti tuberkulosis (TB) dan HIV. Meningkatnya jumlah kasus dua penyakit tersebut tidak diiringi dengan kesiapan infrastruktur kesehatan yang memadai, khususnya ruang isolasi bagi pasien. Hal ini menjadi perhatian Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Sri Puji Astuti.
Dalam keterangannya di Kantor DPRD Samarinda pada Senin (28/07/2025), Sri Puji menekankan bahwa ketersediaan ruang isolasi di rumah sakit, baik milik pemerintah daerah maupun swasta, masih jauh dari kata cukup. “Kesiapan kita, misalnya kita menyiapkan rumah sakit yang ada ruang isolasi untuk TB atau HIV itu kan terbatas, ya,” ujarnya.
Menurutnya, fasilitas yang tersedia saat ini belum memadai untuk menangani jumlah pasien TB dan HIV yang cukup banyak di Samarinda. Sebagian besar rumah sakit hanya memiliki ruang isolasi terbatas, bahkan beberapa rumah sakit daerah hanya menyediakan satu ruangan dengan kapasitas maksimal lima tempat tidur.
“Apalagi rumah sakit umum daerah, rumah sakit swasta, rumah sakit daerah saja kita belum bisa menyiapkan itu, ada tapi sedikit, misalnya satu ruangan paling lima bed gitu ya,” tambahnya.
Ia menekankan pentingnya penambahan fasilitas ruang isolasi sebagai langkah preventif untuk mengurangi penyebaran penyakit menular. “Harus dengan pasien-pasien TB atau HIV yang di Kota Samarinda banyak, harusnya kita siapkan lebih banyak ruang isolasi mungkin berapa kamar, dengan berapa bed, gitu, HIV juga seperti itu,” tegasnya.
Lebih jauh, Sri Puji mengkritik pelaksanaan regulasi yang mengatur penanganan penyakit menular. Menurutnya, meskipun berbagai regulasi telah diterbitkan, pelaksanaannya di lapangan belum menunjukkan dampak signifikan. Ia menilai aturan-aturan tersebut masih sebatas formalitas administratif.
“Nah, ini kan akhirnya seakan-akan apa yang menjadi kebutuhan kita, terkait dengan regulasi undang-undang sampai ke bawahnya tadi, aturan-aturan di bawahnya, itu seakan-akan hanya di atas kertas,” ujarnya menegaskan.
Ia juga menyoroti lemahnya implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) di sektor kesehatan, terutama pada aspek yang menyangkut penanganan TB dan HIV. Menurutnya, dua penyakit ini sebenarnya sudah masuk dalam indikator SPM, namun realisasinya belum optimal. “Walaupun 12 SPM untuk pelayanan minimal kesehatan itu ada, di situ ada cantumkan TB HIV kalau nggak salah, sasaran SPM yang ke-11 sama 12, kalau nggak salah, ya,” jelasnya.
Sri Puji melihat bahwa minimnya alokasi anggaran menjadi kendala utama dalam pengembangan fasilitas kesehatan dan pencapaian target pelayanan. Ia menilai dana yang dialokasikan untuk program penanganan TB dan HIV masih jauh dari kebutuhan ideal. “Itu pendanaannya kecil-kecil, harusnya dengan HIV dan TB tinggi, apalagi banyak temuan baru karena deteksi dininya kan dijalankan,” pungkasnya.
Kondisi ini menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah untuk segera mengevaluasi kebijakan layanan kesehatan, khususnya dalam hal penguatan sarana penanganan penyakit menular. Dalam menghadapi tren kasus yang terus meningkat, diperlukan langkah konkret, mulai dari kebijakan anggaran hingga eksekusi teknis di lapangan. Pemerintah diharapkan tidak hanya mengandalkan regulasi, tetapi juga memastikan implementasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Aulia Setyaningrum