Terbukti Langgar Etik, Hakim PN Batam Dipecat Tidak Hormat

JAKARTA – Kasus pelanggaran etik yang menyeret seorang hakim Pengadilan Negeri Batam kembali menegaskan komitmen Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) dalam menjaga integritas lembaga peradilan. Hakim berinisial HS resmi dijatuhi sanksi pemberhentian tetap dengan tidak hormat setelah terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim akibat dugaan perselingkuhan.

Putusan tersebut dijatuhkan melalui sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang digelar di Gedung Mahkamah Agung pada Kamis (18/12/2025). Berdasarkan informasi dari situs resmi Komisi Yudisial yang diakses pada Senin (22/12/2025), perkara ini bermula dari laporan suami sah HS yang mencurigai adanya hubungan tidak patut antara istrinya dan seorang pria lain.

Dalam proses pemeriksaan, HS diduga menjalin hubungan dengan seorang anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) berinisial S sejak tahun 2023. Hubungan tersebut, menurut MKH, dilakukan melalui komunikasi intensif menggunakan aplikasi percakapan dan panggilan video. Dugaan tersebut diperkuat dengan sejumlah bukti, mulai dari foto kebersamaan terlapor dan S dalam kegiatan resmi pengadilan hingga keberadaan mobil milik HS yang terparkir di sebuah hotel.

Majelis Kehormatan Hakim menilai, pelanggaran etik ini tidak berdiri sebagai peristiwa tunggal. HS disebut telah beberapa kali dilaporkan kepada atasan langsungnya. Namun, peringatan tersebut tidak diindahkan dan perilaku terlapor tidak menunjukkan perubahan berarti.

Selain itu, HS juga diketahui pernah dipanggil oleh Badan Pengawasan (Bawas) MA untuk dimintai klarifikasi. Namun, panggilan tersebut tidak dipenuhi dengan berbagai alasan yang disampaikan oleh terlapor. Sikap tidak kooperatif itu menjadi salah satu pertimbangan penting dalam proses etik yang berjalan.

Dalam persidangan MKH terungkap pula bahwa HS sempat berupaya mengajukan pensiun dini. Namun, majelis menilai permohonan tersebut tidak didukung alasan mendesak sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan yang berlaku. Upaya tersebut kemudian diikuti dengan pengajuan pengunduran diri dari jabatan hakim, meski hingga proses pemeriksaan berlangsung, pengunduran diri itu belum mendapat persetujuan Mahkamah Agung.

Di sisi lain, MKH juga mencatat bahwa terlapor tidak menggunakan hak pembelaannya secara maksimal. HS telah disurati untuk menyampaikan pembelaan, namun alamat yang bersangkutan tidak dapat dihubungi. Kondisi tersebut membuat majelis menyimpulkan bahwa terlapor dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri. HS juga tercatat mangkir dari kewajiban kedinasan dengan tidak masuk kantor.

Berdasarkan rangkaian fakta dan bukti yang terungkap, MKH menyatakan HS terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

“Menjatuhkan sanksi kepada terlapor dengan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 4 huruf e Perjanjian Bersama KY dan MA terkait Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH),” ujar Ketua MKH Hakim Agung Prim Haryadi.

Majelis Kehormatan Hakim dalam perkara ini diketuai oleh Hakim Agung Prim Haryadi sebagai unsur Mahkamah Agung, dengan anggota dari MA yakni Hakim Agung Lailatul Arofah dan Hari Sugiharto. Sementara itu, unsur Komisi Yudisial diwakili oleh Joko Sasmito, M Taufiq HZ, Binziad Kadafi, dan Sukma Violetta.

Putusan ini menjadi penegasan bahwa pelanggaran etik oleh aparat peradilan, terlebih yang menyangkut moral dan integritas pribadi, tidak akan ditoleransi. MA dan KY menegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dituntut menjaga kehormatan, martabat, serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. []

Siti Sholehah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *