Wabah Kolera di Angela Telah Tewaskan Lebih dari 600 Jiwa, 20.00 Kasus Tercatat Sejak Januari 2025

LUANDA – Angola tengah menghadapi krisis kesehatan yang mengkhawatirkan akibat merebaknya wabah kolera sejak awal tahun 2025. Hingga pertengahan Mei, Kementerian Kesehatan Angola mencatat lebih dari 20.000 kasus dengan jumlah korban meninggal dunia melampaui 600 jiwa.
“Sejak awal merebaknya wabah ini, kami telah mencatat total kumulatif sebanyak 20.050 kasus kolera dan 612 kematian,” demikian isi laporan harian resmi kementerian yang dikutip kantor berita Agence France-Presse (AFP), Rabu (14/5/2025).
Wabah yang kini telah menyebar ke sebagian besar dari 21 provinsi di negara tersebut pertama kali terdeteksi pada Januari lalu. Provinsi Luanda, yang mengelilingi ibu kota negara, menjadi wilayah paling terdampak dengan menyumbang sepertiga dari total kasus yang tercatat.
Dalam 24 jam terakhir saja, tercatat penambahan 233 kasus baru dan tiga kematian. Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa rentang usia penderita sangat luas, mulai dari balita berusia dua tahun hingga lansia berusia seratus tahun.
Kolera merupakan infeksi usus akut yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae, dan menyebar melalui makanan serta air yang telah terkontaminasi. Penyakit ini menyebabkan diare berat, muntah, dan dehidrasi parah, yang dapat berujung pada kematian hanya dalam hitungan jam jika tidak segera ditangani. Padahal, pengobatan kolera relatif sederhana melalui terapi rehidrasi oral dan pemberian antibiotik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa Angola kerap mengalami wabah kolera musiman, terutama selama musim hujan. Buruknya kondisi sanitasi, rendahnya akses terhadap air bersih, serta tingginya angka kemiskinan menjadi faktor utama yang memperparah penyebaran penyakit ini, meskipun Angola merupakan salah satu negara penghasil minyak utama di Afrika.
Pemerintah Angola bersama mitra internasional tengah berupaya keras mengendalikan penyebaran wabah melalui distribusi air bersih, peningkatan kesadaran kesehatan masyarakat, serta pembangunan fasilitas sanitasi darurat di daerah-daerah terdampak.
Namun demikian, banyak kalangan menilai bahwa solusi jangka panjang terhadap krisis ini memerlukan pembenahan sistem infrastruktur dasar dan pelayanan publik yang inklusif, terutama bagi kelompok rentan di wilayah pedesaan dan kumuh perkotaan. []
Nur Quratul Nabila A