Amandemen Hukum Tajikistan Resmi Larang Pakaian dan Tradisi “Asing” Bernuansa Islam

DUSHANBE – Pemerintah Tajikistan resmi mengesahkan amandemen undang-undang yang melarang penggunaan “pakaian asing”, termasuk busana keagamaan seperti jilbab, serta pelarangan perayaan yang melibatkan anak-anak pada Hari Raya Idulfitri dan Iduladha.
Kebijakan ini disahkan melalui sidang majelis tinggi legislatif negara tersebut pada awal Juni 2025.
Amandemen tersebut mencakup revisi terhadap sejumlah regulasi, antara lain Undang-Undang tentang Hari Libur, Tradisi dan Ritual, Peran Lembaga Pendidikan dalam Membina Anak, serta Tanggung Jawab Orang Tua.
Pemerintah menyebut langkah ini bertujuan untuk melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah masuknya unsur-unsur yang dianggap berpotensi mengarah pada ekstremisme.
Mayoritas ketentuan dalam aturan baru tersebut menyoroti larangan atas pemakaian jilbab dan atribut berpakaian yang dinilai “bermuatan Islam luar”, yang disebut-sebut telah masuk ke Tajikistan melalui pengaruh Timur Tengah dalam beberapa tahun terakhir.
“Pakaian asing” ini, menurut pernyataan sejumlah pejabat, diasosiasikan dengan aliran keagamaan ekstrem.
Meskipun jilbab telah tidak dianjurkan sejak lama di Tajikistan, pelarangan sebelumnya belum memiliki payung hukum yang eksplisit.
Pemerintah mulai mengambil langkah tegas sejak tahun 2007, saat Kementerian Pendidikan melarang pemakaian jilbab dan pakaian mini gaya Barat di kalangan pelajar.
Larangan tersebut diperluas ke institusi publik, dan dalam praktiknya, sejumlah lembaga bahkan mewajibkan staf dan pengunjung untuk menanggalkan jilbab.
Penegakan kebijakan ini dilakukan secara aktif, termasuk pembentukan satuan khusus oleh otoritas lokal dan penggerebekan pasar oleh aparat keamanan guna menindak para pelanggar.
Namun, pihak kepolisian membantah adanya tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan berjilbab di ruang publik.
Meski demikian, sejumlah laporan menyebutkan adanya denda bagi perempuan yang berhijab dan razia jalanan yang kerap dilakukan.
Sejak 2007, pemerintah juga gencar mengampanyekan penggunaan busana nasional Tajik sebagai simbol identitas budaya.
Salah satu bentuk kampanye yang mencolok adalah pengiriman pesan singkat ke ponsel warga perempuan, menganjurkan mereka untuk mengenakan busana lokal, terutama pada momen peringatan nasional seperti 6 November.
Puncak dari upaya ini terjadi pada 2018, ketika pemerintah menerbitkan buku panduan setebal 376 halaman berjudul Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan.
Dokumen tersebut merinci jenis pakaian yang layak dikenakan oleh perempuan dalam berbagai kegiatan, dari acara resmi hingga perayaan keluarga.
Selain jilbab, kebijakan informal lainnya yang terus berjalan adalah larangan terhadap janggut lebat.
Dalam satu dekade terakhir, ribuan pria dilaporkan telah dihentikan aparat dan dipaksa mencukur janggut mereka, karena dianggap melanggar citra nasional yang dikehendaki pemerintah.
Kebijakan terbaru ini kembali menuai sorotan dari komunitas internasional, khususnya dari kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia, yang menilai pembatasan tersebut membatasi ekspresi keagamaan dan mempersempit ruang privat warga negara.
Tajikistan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, terus menegaskan komitmennya terhadap sekularisme negara dan pelestarian budaya lokal sebagai bagian dari strategi nasional melawan radikalisme dan infiltrasi budaya asing. []
Nur Quratul Nabila A