Program Cetak Sawah Fiktif di Ketapang Jadi Masalah Nasional
PONTIANAK – Dugaan terjadinya program cetak sawah fiktif seluas 100 hektare di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi telah menjadi isu nasional. Hal tersebut diungkapkan anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) saat melakukan kunjungan kerja ke Pontianak, Kalbar, Senin (10/8). Anggota DPR RI juga mempertanyakan kepada Gubernur Kalimantan Barat perihal kasus program cetak sawah fiktif itu.
“Terkait dengan Kalimantan Barat, beberapa tahun lalu ada program cetak sawah baru seluas 100 hektare dan ini menjadi masalah nasional karena program ini disinyalir fiktif. Makanya dalam pertemuan dengan Gubernur Kalbar hari ini, kita mempertanyakan hal ini untuk mencari data langsung di lapangan dan akan kita sampaikan kepada kementerian terkait,” kata Wakil Ketua Komisi VI DPR, Azam Azman Natawijaya.
Dia mengungkapkan, kasus tersebut sudah menjadi salah satu masalah yang diangkat di pemerintah pusat. Namun, pihaknya menyayangkan dari keterangan yang diberikan oleh Gubernur Kalbar, Cornelis, bahwa selaku pemerintah provinsi, dia tidak dilibatkan dalam program itu.
“Dari keterangan Pak Gubernur, beliau tidak mengetahui program itu, karena dalam pencanangannya tidak melibatkan pemerintah provinsi. Seharusnya berbagai program yang dilakukan oleh pemerintah pusat, baik itu dari kementerian maupun dari BUMN, harus diketahui oleh gubernur selaku kepala daerah,” tuturnya.
Azam mengatakan, hal itu menjadi catatan dan temuan pihaknya dan akan disampaikan kepada kementerian terkait agar ke depan, berbagai program yang ada harus bisa disinkronkan dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah.
“Dari informasi yang kita dapat, program cetak sawah di Ketapang, Kalbar ini diketahui bermasalah dan masih dalam proses penyelidikan, karena untuk program ini BUMN Sang Hyang Sri menggelontorkan dana hingga Rp500 miliar lebih, namun tidak ada bentuknya,” katanya.
Bahkan, lanjutnya, program itu menyalahi aturan, karena pada dasarnya untuk program kemitraan dan bina lingkungan dari BUMN harus dalam bentuk bantuan. Karena berdasarkan Pasal 88 UU Nomor 19 tahun 2003 itu menyebutkan, dari laba suatu BUMN sekian persen diberikan kepada masyarakat melalui program kemitraan dan bina lingkungan dalam bentuk bantuan. Bukan untuk program cetak sawah.
“Dari ini saja sudah menyalahi aturan, apalagi dalam pelaksanaannya bermasalah dan ditambah lagi dalam pelaksanaannya tidak ada koordinasi dengan pemerintah provinsi,” kata Azam.
Ditempat yang sama, Gubernur Kalbar, Cornelis mengatakan dirinya sama sekali tidak mengetahui terkait program cetak sawah tersebut karena BUMN yang menjalankan program itu langsung memberikan bantuan program cetak sawah tersebut, tanpa berkoordinasi dengan pihaknya.
“Jangankan melihat uangnya, bentuk programnya saja saya tidak tahu, mereka langsung memberikan program itu kepada pemerintah Ketapang tanpa melalui kita. Jadi dari awal, saya memang tidak mau melihatnya,” katanya.
Dia menegaskan, seharusnya dalam suatu program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun lembaga terkait, harus melibatkan kepala daerah setempat. Namun, kenyataannya, kata Cornelis, dirinya sama sekali tidak dilibatkan.
“Karena dari awal saya tidak dilibatkan dan sekarang sudah ada masalah, ya silakan yang bersangkutan urus sendiri masalahnya, saya jelas tidak mau tahu,” tuturnya. [] ANT