LSM Kecam Anak Perusahaan PT Alas Kusuma Pontianak Babat Hutan

BABAT HUTAN : Bentangan hutan yang dibabat secara ilegal oleh salah satu anak perusahaan PT. Alas Kusuma Pontianak. (Foto : Istimewa)

PONTIANAK – PT Mayawana Persada diduga melakukan pembalakan hutan yang mengakibatkan kerusakan ekologis di Kalimantan Barat. Hal itu terungkap dari hasil investigasi lima organisasi masyarakat sipil (NGO) yakni Satya Bumi, Walhi Kalbar, Linkar Borneo, dan AMAN.

Hasil investigasi itu disampaikan dalam pertemuan media dengan tema: “Ugalan-ugalan  Ekspansi Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kalimantan Barat” yang diselenggarakan  di Pontianak, Senin (11/12) pagi.

Berdasarkan hasil investigasi tersebut diketahui bahwa penggundulan hutan alam dengan mengkonversi tanaman industri yang dilakukan oleh salah satu anak perusahaan PT Alas Kusuma telah memicu peningkatan deforestasi secara drastis di Kalimantan Barat.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien menjelaskan, PT Mayawana Persada memiliki Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) seluas 138.710 hektare.

Izin tersebut membentang dari Ketapang hingga Kayong Utara. “Perusahaan ini telah menebang sekitar 20 ribu hektaree hutan alam, sejak tahun 2016,” kata Andi Muttaqien.

Kemudian, lanjut Andi, perusahaan tersebut terus menebang hutan hingga 14 ribu hektare antara Januari dan Agustus 2023. Pada Oktober 2023, PT Mayawana Persada membuka hutan tambahan seluas 2.567 hektaree.

“Dengan demikian, sejak 2016 hingga saat ini, PT Mayawana Persada telah menebangi hutan seluas sekitar 36 ribu hektare. Ini lebih dari separuh luas Kota Jakarta atau sekitar sepertiga luas Kota Pontianak,” ujar Andi Muttaqien.

Menurut Andi, hal yang lebih parah lagi, pembukaan lahan dilakukan di kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi, yang merupakan habitat orangutan dan lahan gambut kaya karbon.

Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Nikodemus Alle. Ia menyebutkan, pemantauan yang dilakukan oleh tim Walhi Kalbar di sejumlah titik memperkuat bukti bahwa PT Mayawana Persada membuka lahan gambut dengan bukti berupa pembuatan kanal-kanal (pembuatan drainase).

“Pembukaan kanal-kanal ini menyebabkan pengeringan gambut, yang nantinya rentan menyebabkan terjadinya kebakaran gambut. Areal ini berpotensi menjadi sumber Kebakaran Hutan dan Lahan baru, padahal kita sudah lama berupaya memerangi Karhutla,” ujarnya.

Kajian yang dilakukan Walhi Kalbar merujuk data Atlas Nusantara menunjukkan bahwa sepanjang periode 2022 hingga Oktober 2023, PT Mayawana Persada telah membuka dan mengeringkan lahan gambut seluas 14.505 hektare.

Maka artinya, aktivitas perusahaan telah mengeluarkan 797.775 metrik ton CO2 atau setara dengan 8.703.0000 galon bensin yang terbakar. Bayangkan berapa banyak lagi emisi yang akan dihasilkan jika PT Mayawana Persada terus membuka seluruh lahan gambut di dalam konsesi mereka,” ujar Niko.

Selain kerusakan ekologis, kehadiran PT MP juga telah menyebabkan timbulnya konflik sosial dan melanggar hak-hak masyarakat di sekitar konsesi.

Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset Borneo (Link-AR Borneo), Ahmad Syukri mengatakan, rapid asesmen yang dilakukan lembaganya membuktikan bahwa perusahaan tersebut telah secara nyata mengabaikan fakta bahwa tanah dan wilayah yang menjadi areal izin berusaha perusahaan merupakan wilayah, tanah, dan hutan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat adat secara turun-temurun sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan masyarakat.

“Pengambilalihan tanah masyarakat oleh perusahaan dilakukan secara paksa dan disertai dengan serangkaian tindakan intimidasi dan upaya kriminalisasi,” ujar pria yang akrab disapa Uki ini.

Ketua Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalbar, Tono, menambahkan, PT MP sudah berkali-kali dikenakan sanksi adat, namun tidak pernah jera serta terus saja membabat hutan masyarakat adat.

Sedangkan Akademisi Hukum Universitas Tanjungpura, Salfius Seko, menyebut, perampasan tanah masyarakat adat oleh PT MP merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

“Wilayah adat merupakan ruang hidup masyarakat. Kalau ruang untuk mereka hidup diambil, maka mereka akan mati. Artinya, baik pemerintah yang memberi izin maupun korporasi yang mendapat izin telah merampas hak-hak hidup masyarakat,” ujarnya.

Salfius melanjutkan, kepentingan ekonomi atau investasi semestinya tidak mengabaikan kehadiran masyarakat dan tidak menganggap semua wilayah konsesi itu adalah ruang kosong.

Izin-izin seperti ini mesti ditinjau ulang. Untuk itu, dibutuhkan political will pemerintah untuk berpihak kepada masyarakat, bukan hanya kepentingan korporasi/ekonomi semata. Praktik-praktik buruk korporasi yang membabat hutan alam tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus diungkap kepada publik, terutama di tengah gembar-gembor klaim pemerintah di forum dunia COP28 ihwal penurunan angka deforestasi yang berkebalikan dengan fakta yang terjadi di lapangan.

Atas dasar itu, Satya Bumi bersama Walhi Kalbar, Linkar Borneo, AMAN Kalbar, dan AMAN Ketapang Utara serta didukung oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menyusun laporan bersama berisi temuan kerusakan ekologis dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT Mayawana Persada. Prudensi.com telah menemui pihak legal PT Mayawana Persada. Namun yang bersangkutan enggan memberi penjelasan. “Kami minta waktu. Kami akan sampaikan ke pihak manajemen,” kata Kevin, asisten legal PT. Mayawana Persada. (rac)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *