Yang Terbaru Dari Perkara Korupsi Dermaga Kenyamukan
Diam-diam polisi mengusut tuntas dugaan korupsi ‘Kenyamukan Gate’. Perkaranya kini bahkan telah memasuki babak baru, proses peradilan dan yang terseret bertambah.
Nyaris hilang diingatan publik soal kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek pembangunan Pelabuhan Kenyamukan di Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim) yang mencuat di awal 2013 silam. Kini perkaranya telah memasuki babak baru, tiga orang terdakwa telah duduk di kursi pesakitan dan pengusutannya terus dikembangkan hingga menyeret dua tersangka baru.
Mereka yang sekarang telah memasuki masa sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda adalah Kasmo, Ardiansyah dan Herliansyah. Sementara Ismunandar masih jadi tersangka, karena berkasnya yang semula diajukan penyidik kepolisian dikembalikan pihak jaksa karena dinilai belum lengkap (P-19).
Terkuaknya perkara korupsi ini sendiri adalah kelanjutan dari laporan masyarakat berdasarkan temuan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas pembebasan lahan untuk Pelabuhan Kenyamukan seluas 25 hektare yang dilakukan dua tahap, tahun 2011 dan 2012. Saat itu BPK menghitung ada ada kerugian Rp 11 miliar.
Kasus tersebut kemudian diselidiki pihak Kepolisian Resor (Polres) Kutim dan memasuki awal 2013, perkaranya dilimpahkan ke Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim. Pada April 2013, identitas inisial Is dan Kas yang belakangan diketahui adalah Ismunandar dan Kasmo dipublikasikan sebagai tersangka. Ismunandar merupakan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kutim yang sekarang masih aktif. Sementara Kasmo, dahulunya Kepala Desa Sangatta Utara.
Penetapan tersangka keduanya tentu membuat kaget banyak kalangan, bahkan Isran Noor yang kala itu Bupati Kutim hampir tak percaya. Pada Oktober 2013, Sub Direktorat (Subdit) III Satuan Tindak Pidana Korupsi (Sat Tipikor) Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Kaltim mengumumkan dua tersangka baru, yakni Ardiansyah dan Herliansyah. Ketika itu, Ardiansyah merupakan Kepala Dinas Pengendalian Lahan dan Tata Ruang (DPLTR) Kutim dan Herliansyah adalah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pembebasan lahan Pelabuhan Kenyamukan.
Menindaklanjuti penetapan tersangka, pada November 2013, penyidik kepolisian mengobok-obok Kantor DPLTR dan Kantor Bupati Kutim. Rumah Herliansyah juga tak luput dari kunjungan penyidik. Hasilnya, sejumlah dokumen pembebasan lahan, seperti kwitansi, Surat Perintah Membayar (SPM), berita acara pembebasan, pembayaran serta honor berhasil tim disita.
Hingga akhir 2014, ‘Kenyamukan Gate’ baru terdengar kabar perkembangannya. Semula sebagian aktivis anti korupsi di Kutim menilai kasus tersebut dipetieskan, ternyata tidak. Sejak Januari 2014, polisi ternyata membawa perkara tersebut ke Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim untuk menghitung kerugian negaranya.
Di bulan Agustus, audit selesai dan penyidik mendapatkan data bahwa dalam pembebasan lahan tersebut telah merugikan keuangan daerah sebesar Rp 6.025.909.860. Angka itu terdiri dari pembayaran yang tak sesuai di tahap I sebesar Rp 1.444.054.650 dan sebesar Rp 4.581.855.210 di tahap II. Atas pendapat auditor BPKP yang jadi saksi ahli tersebut, penyidik meneruskan pemeriksaan dan berkas rampung di awal 2015.
Berkas penyidikan untuk tiga orang, yakni Kasmo, Ardiansyah dan Herliansyah yang dilimpahkan ke kejaksaan akhirnya dinyatakan lengkap (P-21) hingga akhirnya dibawa ke persidangan. Oleh jaksa penuntut umum Iqbal dan Agus Supriyatna, ketiga terdaksa dituntut melanggar Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (UU 31/1999) yang telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang Hukup Pidana (KUHP).
Di samping itu, penyidik Subdit Tipikor Polda Kaltim saat ini kembali berusaha melengkapi berkas tersangka Ismunandar, kemudian menyeret dua orang lagi dari kelompok tani di Kenyamukan jadi tersangka. Kedua tersangka baru ini berinisial Hi dan BK, mereka dinilai berperan dalam mengurus 49 surat tanah untuk dibebaskan.
Dalam penyidikan selanjutnya, polisi juga telah memeriksa 30 orang pemilik lahan sebagai saksi di awal April lalu. Pemeriksaan dilakukan selama empat hari di markas Polres Kutim. Menurut Kepala Subdit Tipikor Polda Kaltim AKBP Ahmad Sulaiman didampingi Kanit Tipikor Kompol Made Alit, Kamis (16/4), status mereka bisa saja meningkat jadi tersangka, tergantung hasil pengembangannya.
Disamping memeriksa, tim penyidik juga meminta para petani yang telah menerima pembayaran pembebasan lahan Pelabuhan Kenyamukan untuk mengembalikan uang Negara yang telah diterima dengan sukarela. “Harus disadari, kalau uang itu bukan hak mereka. Sebagian sudah ada yang mengembalikan. Nantinya, dana tersebut akan menjadi barang bukti perkara dan akan dikembalikan ke kas negara,” kata Made Alit.
Mereka yang tidak mau mengembalikan saat ini, kata Alit, tidak ada paksaan. Karena semua akan diputuskan di pengadilan. Bila pengadilan mengatakan harus mengembalikan, berarti harus dikembalikan. Karena kalau tidak ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung.
“Penyidik memang tidak menyita barang bukti berupa uang dari tersangka-tersangka sebelumnya seperti Ismunandar, terdakwa Erliansyah, Ardiansyah dan Kasmo. Karena, uangnya bukan mereka yang menikmati. Mereka adalah penanggung resiko pidana karena atas perbuatannya, telah memperkaya orang lain dalam hal ini petani. Jadi petani yang harus mengembalikan,” ujar Alit.
BENANG KUSUT TERURAI
Di pengadilan Tipikor, agenda sidang telah memasuki tahapan mendengarkan keterangan saksi-saksi, setelah sebelumnya putusan sela majelis hakim. Sementara pada tahap pembacaan dakwaan penuntut umum Iqbal dan Agus Supriyatna, terungkap ‘benang kusut’ kasus pembebasan lahan Pelabuhan Kenyamukan ini. Kasus bermula pada 22 Januari 2010, saat itu, Dinas Perhubungan Kutim mengajukan usulan pembangunan Pelabuhan Kenyamukan, Sangatta Utara.
Dari usulan itu, Dinas PLTR menetapkan lahan sekitar 100 hektare di Desa Sangatta Utara sebagai lokasi pembangunan Pelabuhan Kenyamukan dan fasilitas pendukung lainnya yang nantinya pembebasan lahan terbagi menjadi dua tahapan. Setahun kemudian, tanggal 1 Februari 2011 Dinas PLTR akhirnya memulai pembebasan lahan tahap I seluas 25 hektare.
Lantas pada 23 Maret 2011, dibentuklah tim pengadaan tanah yang diketuai Ismunandar (sekkab) dan Ardiansyah selaku sekertaris tim pengadaan tanah. Sebelumnya, Ardiansyah selaku Kadis PLTR telah menunjuk Herliansyah sebagai PPTK. Berselang empat bulan, inventarisasi dan identifikasi lahan dimulai. Sebanyak 20 orang termasuk Herliansyah menginventarisasi tanah, tanam tumbuh, dan bangunan pada lokasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
“Namun, inventarisasi itu hanya dilakukan di sekitar tambak milik warga tanpa mendata lahan dekat bibir pantai yang banyak ditumbuhi mangrove,” ucap Jaksa Penuntut Umum Agus ketika membacakan dakwaan di hadapan majelis hakim yang diketuai Hongkun Otoh, Maret lalu.
Dari data pengukuran itu, mulailah diadakan rapat penilai harga lahan dengan acuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) tahun 2008 di wilayah tersebut. Disepakati harga ganti rugi lahan yang berstatus hak milik (SHM) sebesar Rp 50 ribu hingga Rp 80 ribu meter persegi. “Sementara itu, untuk lahan yang berstatus segel, SPPTP, PPAT sebesar Rp 40 ribu hingga Rp 70 ribu meter persegi,” giliran Penuntut Umum Iqbal membaca dakwaan.
Mengantongi harga ganti rugi lahan, negosiasi ke warga pun mulai dilakukan. Pada 31 Oktober 2011 pemilik lahan dan tim pengadaan tanah sepakat melakukan ganti rugi. Untuk lahan kosong sebesar Rp 30 ribu meter persegi dan sebesar Rp 64.300 meter persegi untuk lahan yang sudah dibangun tambak. Namun, harga tersebut belum termasuk lahan tanam tumbuh dan bangunan. Sebulan kemudian, dana ganti rugi lahan cair sebesar Rp 3 miliar. “Sebanyak 67 pemilik lahan menerima ganti rugi lahan. Baik yang memiliki SHM, SPPTP, SKPBB TDTN dan SK PPAT,” lanjut Iqbal membaca.
Tapi, sebagian SPPTP yang terbit di wilayah Kenyamukan justru baru terbit di tahun yang sama dengan pembebasan lahan 2011. “Terdakwa Kasmo selaku kades Sangatta Utara yang juga tergabung dalam tim pengadaan tanah melakukan pemunduran tanggal terbitnya 31 buah SPPTP. Sehingga, seolah-olah SPPTP tersebut terbit di 2010,” ungkap Agus membacakan.
Selain itu, timbul kecurangan dalam ganti rugi lahan tahap I ini. Andi Ashar misalnya, salah satu pemilik lahan di lokasi tersebut tak pernah menerima ganti rugi lahan sebesar Rp 54.725.000, seperti yang tercantum dalam bukti pembayaran ganti rugi lahan.
Lalu Siti Hartati, ia juga menerima ganti rugi lahan yang tak sesuai. “Saksi Siti Hartati hanya menerima ganti rugi lahan sebesar Rp 15 juta. Sementara yang tertera dalam bukti pembayaran ganti rugi lahan tahap I sebesar Rp 31.218.000,” lanjutnya.
pada Agustus 2012 anggaran sebesar Rp 9 miliar cair lagi untuk merealisasikan ganti rugi lahan tahap II. Kali ini, jumlahnya bertambah 17 penerima. Hal ini karena ada beberapa pemilik lahan yang belum menerima ganti rugi lahan di tahap I.
Masalah kembali timbul dalam pembayaran ganti rugi lahan untuk proyek pembangunan pelabuhan Kenyamukan ini. Djohan, salah satu pemilik lahan hanya menerima ganti rugi Rp 60 juta. “Namun, namanya juga tertera dalam ganti rugi lahan di tahap I sebesar Rp 264 juta. Yang di mana saksi Djohan tak pernah sama sekali menandatangani bukti pembayaran ganti rugi lahan tahap I,” paparnya.
TENANG-TENANG SAJA
Sementara Ismunandar tampak tenang-tenang saja menghadapi sangkaan perkara korupsi yang diarahkan kepadanya sejak 2013 silam. Seperti tak merasa bersalah, Sekkab Kutim ini bahkan secara terang-terangan menyatakan bakal ikut bertarung pada pemilihan ‘orang nomor satu’ Kutim yang dijadwalkan Desember 2015 mendatang.
Selain mengaku telah didukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ismunandar pun telah merapat ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan mendaftar dalam penjaringan calon bupati. Guna memperlancar proses pencalonannya, Ismunandar menyatakan akan berhenti dari posisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak 1 Juli mendatang.
Beberapa kali media ini berupaya menghubungi agar dapat memberi keterangan terkait perkara yang melilit dirinya, Ismunandar tak memberi kesempatan. “Mungkin dia merasa benar, apalagi penetapan status tersangkanya tidak dilakukan penahanan,” ujar Suriadi, Wakil Ketua Bidang Investigasi Korupsi Masyarakat Pro Pembangunan (MAPPAN) Kaltim.
Menurut dia, penanganan perkara ini terlihat sedikit janggal, karena para tersangka tidak ditahan, termasuk Ismunandar. Seandainya dilakukan penahanan, Ismunandar pasti sudah diberhentikan sementara dari posisinya Sekkab Kutim. Itu sesuai Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Apartur Sipil Negara (ASN).
“Saat ditetapkan tersangka, hak penyidik melakukan penahanan. Kecuali ada keyakinan bahwa tersangka tidak akan menghilangkan barang bukti, tidak kabur dan tidak mengulangi perbuatan jahatnya. Tapi menurut saya ini mencederai keadilan, giliran pencuri kelas teri, pasti langsung dikerangkeng, bahkan digebuki,” kata Suriadi. []