Pejaten Shelter Diambang Penutupan, Ini Respons Pemprov

JAKARTA — Ketika sebagian warga di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, mendesak penutupan Pejaten Animal Shelter karena insiden babi hutan lepas, sejumlah fakta justru menunjukkan bahwa keberadaan tempat penampungan hewan ini memiliki peran vital dalam menjaga Jakarta dari ancaman rabies dan penelantaran hewan.
Pejaten Animal Shelter, yang sudah berdiri selama hampir dua dekade, menjadi salah satu rujukan utama dalam penanganan hewan liar, terutama anjing, yang berpotensi menyebarkan virus rabies.
Namun keberadaan shelter tersebut kini berada di ujung tanduk menyusul protes dari warga RT 02/RW 08, Pejaten Barat, usai seekor babi hutan keluar dari area shelter dan memasuki permukiman warga pada Rabu (25/6/2025).
Menanggapi desakan warga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (KPKP) menyatakan akan membahas kelanjutan operasional shelter tersebut dalam forum internal.
Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta, Hasudungan Sidabalok, menegaskan bahwa keputusan tidak akan diambil secara tergesa-gesa.
“Jadi memang harus benar-benar dipertimbangkan semua aspeknya,” kata Hasudungan saat dikonfirmasi, Minggu (29/6/2025).
Menurut Hasudungan, Pejaten Shelter selama ini menjadi solusi tambahan atas keterbatasan daya tampung shelter milik pemerintah daerah.
“Secara tidak langsung, Pejaten Shelter membantu pemda mempertahankan status bebas rabies karena mereka menampung hewan-hewan rentan rabies, terutama anjing liar. Sementara, kapasitas shelter milik Pemda juga terbatas,” ungkapnya.
Data menyebutkan bahwa dua unit Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) milik Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menampung maksimal 150 ekor hewan.
Dalam kondisi darurat, Pejaten Shelter kerap menjadi tempat alternatif untuk merawat dan mengkarantina hewan-hewan yang ditelantarkan atau terlantar di jalanan ibu kota.
Meski demikian, Hasudungan menegaskan bahwa segala bentuk tanggung jawab terhadap hewan-hewan di dalam shelter tetap berada di tangan pengelola.
“Sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemilik shelter, kami hanya fokus vaksinasi rabies,” tegasnya.
Di sisi lain, perwakilan warga setempat, Herry Kurniawan, mengaku bahwa tuntutan penutupan shelter bukanlah karena kebencian terhadap hewan, melainkan karena dampak langsung terhadap kenyamanan lingkungan.
“Kami minta ditutup. Tapi perlu dicatat, kami warga itu bukan pembenci hewan. Cuma kami minta tolong jangan ada penampungan hewan di lingkungan permukiman,” ujar Herry, Kamis (26/6/2025).
Menanggapi itu, pemilik Pejaten Animal Shelter, Susana Somali, tidak menolak opsi penutupan, namun mengingatkan pemerintah atas konsekuensi yang akan ditimbulkan.
“Ya itu kalau ditutup, (nanti jadi) pekerjaan (Dinas) KPKP. Nanti binatangnya saya bubarkan (lepaskan) bagaimana? Kan lebih repot lagi,” ucap Susana saat ditemui di Cilandak Timur, Sabtu (28/6/2025).
Di tengah dilema ini, Pejaten Shelter menjadi simbol dari tarik-menarik antara kebutuhan kemanusiaan terhadap binatang dan kebutuhan sosial masyarakat akan kenyamanan hidup.
Keputusan yang akan diambil pemerintah ke depan tidak hanya akan menentukan nasib sebuah lembaga sosial, tetapi juga arah kebijakan kota terhadap isu perlindungan hewan dan kesehatan masyarakat. []
Nur Quratul Nabila A