Jalan Berliku Demi Keadilan Bagi Penyintas dan Keluarga Korban Kanjuruhan

JAWA TIMUR – Tak ada lagi kesedihan di raut wajah Vidia Darma Nur Ariyanti, 19 tahun. Roman mukanya datar, bahkan beberapa kali bibirnya tersungging dan tertawa saat mengisahkan malam kelam di Stadion Kanjuruhan setahun lalu, pada (01/10/2022).

Ia menceritakan kehilangan adiknya M. Rian Fauzi yang berusia 15 tahun dan pacarnya, Muhammad Ilham Sabilillah, yang kala itu berusia 18 tahun, di hadapan sekitar 100-an mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Jumat malam, (29/09/2023), Beberapa waktu lalu.

“Pacar dan adikku meninggal, tubuhku sempat terinjak-injak,” katanya dalam diskusi dibarengi pemutaran film dan pameran seni memperingati satu tahun tragedi Kanjuruhan.

Usai pertandingan Arema FC lawan Persebaya, sejumlah penonton turun ke lapangan. Polisi menghalau dan menembakkan gas air mata. Aparat polisi juga menembakkan gas air mata di tribun tempat Vidia, pacar, dan adiknya duduk. “Ilham berteriak, pacarku mati. Tapi penonton lain justru memukuli Ilham,” tutur Vidia

Bahkan, saat jatuh, tubuhnya terinjak-injak penonton lain. Adik Vidia, Rian, yang berada di belakang, memanggil dan menarik tubuhnya. Namun, Rian tak kuat. Dia menyangka Vidia meninggal, ia memilih menepi dan keluar stadion.

Vidia lantas terbangun dan minta tolong para penonton. Namun, mereka tak menghiraukannya karena menyelamatkan diri masing-masing. Beruntung, seorang penonton mengangkatnya hingga berhasil keluar Stadion Kanjuruhan.

Bekas telapak sepatu menempel di wajahnya, penonton lain mengerumuninya.
“Saya berdiri meminta tolong, tapi tak ada yang merespons,” tutur Vidia, ia tercekat menghentikan ceritanya.

Saat berjalan di tepi Stadion Kanjuruhan, ia menemukan Ilham terbujur kaku. Wajahnya penuh dengan luka lebam dan sayatan. Vidia menemukan tas Ilham, yang di dalamnya ada gawai milik kekasihnya tersebut.

Dia menghubungi keluarga Ilham dan menyampaikan bahwa Ilham meninggal dalam kejadian tersebut. Tak lama kemudian, seorang tentara mengangkat jenazah Ilham dan memindahkannya ke lokasi yang lebih lapang. “Saya tak bisa menangis, hanya terdiam. Muntah-muntah, keluar air berwarna hitam,” katanya.

Ia syok. Keluarga Ilham datang membawa jenazah dan mengantar pulang Vidia. Ia baru tiba di rumahnya yang berlokasi di Tumpang, Kabupaten Malang, sekitar pukul 3.30 WIB. Lalu bagaimana dengan Rian, adik Vidia.

Awalnya, Vidia menduga adiknya pulang mengendarai motor sendirian. Namun dia tak menemuinya di rumah. Esok harinya, orang tuanya mencari ke Stadion Kanjuruhan dan menemukan Rian meninggal pada pukul 11.00 WIB. “Tubuhnya bersih, tak ada luka. Mungkin kehabisan napas,” kata Vidia.

Seorang penyintas lain, Deyangga Sola Gratia, 24 tahun, terpapar gas air mata hingga menyebabkan sakit di dada dan sesak napas saat bekerja berat. Bahkan, ia harus menjalani pendampingan psikolog selama hampir setahun. “Sedih, perih, dan kecewa. Sampai sekarang tidak mendapat keadilan,” katanya.

Ia juga mengalami trauma. Saat mendengar ledakan dan sirine, keluar keringat dingin, ketakutan, resah dan peristiwa 1 Oktober 2022 kembali terngiang-ngiang. Hingga kini, para penyintas dan keluarga penyintas tragedi Kanjuruhan terus memperjuangkan keadilan.

Redaksi01

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *