Paradigma Penanggulangan Bencana Bergeser, Kemenko PMK Dorong Aksi Antisipatif Terpadu

JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menegaskan pentingnya transformasi dalam pendekatan penanggulangan bencana.
Dalam menghadapi risiko bencana yang semakin kompleks, Kemenko PMK mendorong adopsi Aksi Merespon Peringatan Dini (AMPD) secara menyeluruh dan sistematis, melampaui sekadar respons darurat.
Penekanan tersebut disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Konflik Sosial Kemenko PMK, Lilik Kurniawan, dalam pertemuan lintas kementerian/lembaga yang digelar di Jakarta, Kamis (26/6/2025).
“Ini menjadi ruang strategis untuk membangun pemahaman bersama, memetakan regulasi, serta merumuskan langkah implementatif dalam menghadapi risiko bencana secara antisipatif,” ujar Lilik.
Menurutnya, praktik penanggulangan bencana yang masih didominasi pendekatan tanggap darurat tidak lagi relevan dengan dinamika bencana saat ini.
Ia menyampaikan bahwa pemikiran ke depan harus difokuskan pada mitigasi dan kesiapsiagaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
“Kita harus beralih dari penanganan berbasis respons ke pendekatan antisipatif yang sistematis dan terkoordinasi. AMPD menjadi pendekatan strategis untuk mengurangi dampak kemanusiaan sebelum bencana terjadi,” tegasnya.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mencatat 2.093 kejadian bencana selama tahun 2024.
Dari jumlah tersebut, banjir menempati posisi tertinggi dengan 1.077 kejadian atau sekitar 51 persen dari total kejadian.
Data tersebut menunjukkan urgensi untuk meningkatkan kapasitas pencegahan sejak dini.
“Kondisi ini mencerminkan betapa pentingnya kesiapsiagaan dan upaya kolektif yang bersifat preventif,” lanjut Lilik.
AMPD sendiri dirancang sebagai kerangka kerja kolaboratif dengan tiga elemen kunci: sistem peringatan dini yang andal, langkah konkret sebelum bencana, serta dukungan pendanaan yang fleksibel dan segera dapat digunakan.
Ketiga komponen tersebut dinilai mampu mempercepat respons sekaligus meminimalkan dampak sosial dan ekonomi pascabencana.
Lebih jauh, pendekatan AMPD dikaitkan langsung dengan agenda strategis pembangunan nasional.
“AMPD bukan hanya agenda teknokratik, tetapi bagian dari komitmen pembangunan nasional yang inklusif dan berbasis risiko,” kata Lilik, merujuk pada poin kedelapan Asta Cita, yakni perlunya mitigasi dan penanggulangan bencana yang terencana dan terukur.
Selain penguatan sistem dan koordinasi antarinstansi, forum ini juga mengangkat isu peningkatan anggaran mitigasi, pembaruan teknologi peringatan dini, serta pembangunan infrastruktur tahan bencana. Sinergi multipihak juga mendapat perhatian serius.
“Kami akan mengawal keberlanjutan koordinasi lintas sektor dan memperkuat ketahanan masyarakat, terutama kelompok rentan, dalam menghadapi ancaman bencana ke depan,” tegas Lilik.
Langkah-langkah yang dibahas dalam pertemuan tersebut menjadi indikasi kuat bahwa Indonesia tengah melakukan reorientasi besar dalam manajemen risiko bencana, dari pola reaktif menjadi proaktif.
Pendekatan ini menempatkan kesiapsiagaan masyarakat sebagai kunci dalam menekan kerugian akibat bencana dan mendukung ketahanan nasional yang berkelanjutan. []
Nur Quratul Nabila A