Krisis Ekonomi Kenya Makin Parah, Rakyat Terjepit Pajak dan Utang

NAIROBI — Kenya, negara di kawasan Afrika Timur, kini terjerembap dalam krisis ekonomi multidimensi yang diperparah oleh ketimpangan kebijakan fiskal dan merajalelanya korupsi.
Meski pemerintah menyatakan melakukan reformasi, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang makin melebar, sementara jutaan warga menghadapi keputusasaan.
Krisis tersebut tercermin dari inflasi tinggi, peningkatan pajak, angka pengangguran yang melonjak, serta utang negara yang kian membebani APBN.
Dampaknya, sekitar 40 persen dari total penduduk Kenya kini hidup di bawah garis kemiskinan.
Di jantung ibu kota Nairobi, kenyataan pahit ini tampak begitu mencolok.
“Ekonomi sangat buruk. Tak ada uang di Kenya,” kata Christine Naswa, seorang ibu lima anak yang berjualan sayur di pinggir jalan, seperti dikutip AFP, Jumat (27/6/2025)
. “Ada hari-hari ketika saya pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Anak-anak saya menangis karena lapar, tapi saya hanya bisa diam,” lanjutnya dengan suara lirih.
Meski pemerintah Presiden William Ruto telah mencabut sejumlah pajak melalui Rancangan Undang-Undang Keuangan, kebijakan tersebut dianggap tidak membawa perubahan signifikan.
Sebaliknya, warga mengaku bahwa kondisi ekonomi mereka makin terjepit.
“Tahun ini adalah tahun terburuk dalam 36 tahun saya berdagang,” ungkap seorang pemilik toko di kawasan bisnis Nairobi yang enggan disebutkan namanya.
Toko miliknya sempat dijarah saat aksi unjuk rasa.
“Begitu pemerintahan baru terpilih, pajak langsung dinaikkan. Tapi kami tidak pernah merasakan manfaat apa pun dari itu,” keluhnya.
Pemerintah beralasan, kenaikan pajak diperlukan untuk membayar utang luar negeri dan menjaga stabilitas fiskal.
Namun menurut Kwame Owino dari Institute for Economic Affairs, pendekatan fiskal tersebut telah melewati batas ketahanan masyarakat.
“Kita sudah mencapai titik di mana rakyat tidak sanggup lagi menanggung beban pajak,” katanya.
“Masyarakat lelah membayar pajak hanya untuk menutupi borosnya belanja pemerintah dan utang yang tidak transparan penggunaannya.”
Kritik juga datang dari Patricia Rodrigues, analis dari Control Risks, yang menyebut bahwa Presiden Ruto telah kehilangan kepercayaan rakyat karena tak mampu menepati janji kampanyenya.
“Ia berjanji akan memperjuangkan warga biasa, tapi malah menaikkan pajak secara drastis. Ini dirasakan banyak orang sebagai bentuk pengkhianatan,” ujarnya.
Ironisnya, di tengah kesulitan ekonomi rakyat, pemerintah justru mengalokasikan anggaran lebih besar untuk pembayaran bunga utang dibanding sektor esensial seperti kesehatan dan pendidikan.
Sementara itu, tekanan dari lembaga internasional seperti IMF mendorong Kenya melakukan reformasi fiskal sebagai syarat bantuan.
Parlemen dijadwalkan membahas rancangan anggaran baru pada Kamis, namun pemerintah disebut berusaha menghindari pajak langsung yang bisa memicu unjuk rasa baru.
“Kita perlu bicara soal akuntabilitas, bukan hanya pajak,” kata seorang warga Nairobi.
“Jika korupsi tidak diberantas, tidak peduli siapa yang memimpin — rakyat tetap akan sengsara.”
Sementara sebagian warga berharap pada pemilu 2027, tidak sedikit yang telah kehilangan harapan.
“Warga Kenya akan selalu memilih pencuri,” ujar pemilik toko tadi, dengan senyum getir. []
Nur Quratul Nabila A