Anak Jadi Korban, DKP3A Tegaskan Komitmen Perlindungan

SAMARINDA – Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur menyampaikan perkembangan penanganan kasus kekerasan seksual di Kota Samarinda. Berdasarkan data dari pihak kepolisian, hingga awal Mei 2025, tercatat sebanyak 50 kasus pelecehan dan kekerasan seksual telah ditangani aparat penegak hukum di kota ini.
Fahmi Rozano, Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan DKP3A Kaltim, mewakili Kepala Dinas dalam konferensi pers yang digelar di Kantor DKP3A Kaltim, Jumat (09/05/2025). Ia menyampaikan bahwa seluruh kasus tersebut kini telah memasuki proses hukum.
“Alhamdulillah saat ini para pelaku telah masuk ke dalam proses pra peradilan,” ungkap Fahmi di hadapan awak media. Ia menambahkan bahwa DKP3A turut mengawal proses hukum agar para korban mendapatkan keadilan dan perlindungan yang layak.
Menurut Fahmi, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Samarinda umumnya melibatkan anak-anak dan remaja sebagai korban. Beberapa di antaranya bahkan terjadi di lingkungan tempat tinggal korban sendiri, termasuk oleh pelaku yang masih memiliki hubungan keluarga.
Rentetan kasus ini terjadi sepanjang Januari hingga awal Mei 2025 dan tersebar di berbagai kecamatan di Kota Samarinda, termasuk wilayah Samarinda Utara dan Samarinda Seberang.
Tingginya jumlah kasus dalam kurun waktu lima bulan menjadi alarm serius bagi DKP3A dan seluruh pemangku kepentingan di Kalimantan Timur. Selain trauma jangka panjang bagi korban, meningkatnya kasus juga menunjukkan masih lemahnya edukasi dan pengawasan terhadap anak di lingkungan terdekat mereka. Hal ini memerlukan perhatian lebih agar kekerasan seksual tidak terus berkembang.
DKP3A Kaltim bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, lembaga perlindungan anak, serta psikolog dalam memberikan pendampingan kepada para korban. Selain itu, pihaknya juga memperluas program edukasi pencegahan kekerasan seksual di sekolah dan masyarakat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama orang tua, dalam melindungi anak-anak dari potensi kekerasan.
Fahmi menegaskan bahwa pelaporan dan perlindungan korban menjadi prioritas. Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak ragu melaporkan jika mengetahui adanya indikasi kekerasan seksual di lingkungan sekitar. Kolaborasi ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung pemulihan korban kekerasan seksual.[]
Rifky Irlika Akbar.