Penangkapan Mahasiswa Saat Kunjungan Wapres Gibran Dinilai Langgar Prinsip Demokrasi

BLITAR – Tindakan aparat keamanan yang menangkap tiga mahasiswa saat kunjungan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Kota Blitar, Jawa Timur, menuai kritik tajam dari sejumlah pihak.
Penangkapan tersebut dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Insiden terjadi saat tiga mahasiswa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Blitar menyampaikan kritik dalam bentuk damai pada Rabu (18/6/2025), dengan membentangkan poster bertuliskan ‘Omon-Omon 19 Juta Lapangan Kerja’ dan ‘Dinasti Tiada Henti’ saat Gibran hendak singgah di sebuah rumah makan.
Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menyatakan bahwa reaksi aparat yang menangkap mahasiswa tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan mencederai prinsip kebebasan berekspresi.
“Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyampaikan pendapat. Aksi mahasiswa yang membentangkan poster kritik terhadap kebijakan publik jelas merupakan ekspresi damai, bukan ancaman keamanan,” ujar Abdullah kepada wartawan, Minggu (22/6/2025).
Menurutnya, tidak ada unsur kekerasan, ujaran kebencian, maupun upaya membahayakan pejabat negara dalam aksi tersebut.
Oleh karena itu, penahanan terhadap ketiga mahasiswa dinilai sebagai pelanggaran terhadap kebebasan sipil.
“Maka tindakan pengamanan yang berujung pada penahanan selama berjam-jam adalah bentuk pembatasan kebebasan sipil yang tidak dapat dibenarkan secara demokratis,” tegasnya.
Meski para mahasiswa telah dibebaskan, Abdullah menyayangkan sikap aparat yang terkesan represif.
Ia menilai bahwa dalam negara hukum, bahkan kritik terhadap pejabat tinggi merupakan bagian sah dari partisipasi publik yang harus dilindungi.
“Penangkapan mahasiswa karena membawa poster bertuliskan pertanyaan atau kritik terhadap Wakil Presiden, apa pun narasinya, adalah bentuk reaksi yang berlebihan,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti tindakan aparat yang membawa mahasiswa ke lokasi tertutup selama kurang lebih empat jam tanpa penjelasan hukum yang jelas.
Hal ini, menurutnya, dapat melanggar asas due process of law dan membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.
“Aparat sebagai perwakilan negara dalam kasus ini seharusnya hadir sebagai pelindung ruang demokrasi, bukan pengendali narasi tunggal kekuasaan,” kata Abdullah.
Legislator Fraksi PKB tersebut menekankan bahwa pengamanan terhadap pejabat negara memang penting, namun tidak boleh dijadikan alasan untuk meredam aspirasi masyarakat secara sewenang-wenang.
“Aksi mahasiswa yang dilakukan secara terbuka dan simbolik harus dipandang sebagai bagian dari praktik demokrasi yang sehat,” pungkasnya. []
Nur Quratul Nabila A